PERJALANAN (KESAN)

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Jakarta Selatan, Indonesia

life is for joy and make friends

Wednesday, May 31, 2006

Monumen-monumen di Inggris
Oleh :Rahmat Ali

TELAH saya katakan bahwa banyak sekali wariaan-­warisan nenekmoyang yang sitatnya milik pribadi: Istana-istana tua, kastil, rumah adat dan bahkan. hutan-hutan tuas serta pulau-gulau kecil bukan milik pemerin­tah. Hanya sebagian kecil saja milik pemerintah. Bri­tish Museum yang besar di London itu bukan pula pemerintah. Dia dikendallkan oleh suatu yayasan yang bernama Yayasan British Museum, yang tentu saja, penuh dengan orang-orang terkemu­ka, berpengaruh dan hanyak duit. Dengan demikian kerja pemerintah boleh dikatakan 'lebih ringan' dan oleh karena itu banyaklah yayasan­-yayasan y-ang khusua mengurus monumen-monumen serta peninggalan-peninggalan bersejarah dan laln-lainnya yang dipandang perlu dipertahankan keutuhannya.

Pertama sekali baiklah saya perkenalkan kepada apa y-ang dinamakan Natlonai Trust. Yayasaa ini didirikan pada tahun 1895 dengan bermarkas di Queen Anne's Ga te 42, London. Dan karena swasta dan tidak bisa ber­gantung kepada orang lain maka dia berusaha mencari dana sebaik-baiknya terutama dari iuran para anggotanya dan sumbangan-sumbangan luar. Hasilnya sangat besar. Dari uang yaag masuk diputar lagi. Bahkan bisa pula untuk membeli rumah-rumah bersejarah yang pemilikny-a sudah tidak mampu untuk mengurus. National Trust mempelajari rumah tersebut dan kemudian memugar. Barang-barang yang memang menjadi perlengkapan rumah diatur dengan baik. Kebun-kebun dan tamannya dipangkas dengan indah. Di buatkan pula tempat parkir, toko saouveair dan kantln. Para pengnnjung dltarik karcis. Masuk uang. Cukup untUk membayar pegawaI dan perawatan seharf-hari. Makin haik Makin baik penampilannya makin baik pula uang yang mengablirr ke dalam kas. Dan setelah puluhan tahun maka National Trust telah memillki koleksi warisan hampir di seluruh United Kiagdom kecuali Scotland, yang memiliki semacam yayasan tersendiri.

Menurut laporan “Properties of the National Trust”, Januari 1973, seluas 377.000 are tanah menjadi miliknya ( hektar?) Meliputi tanah di England, Wales serta Irlandia Utara. Ditambah lagi dengan 200 (duaratus) rumah-rumah dengan bentuk arsitektur jempolan serta latar belakang sejarah amat kuat. Juga memiliki lagi 61.000 are tanah dengan pemandangan indah di mana orang-orang yang masuk di dalamnya bisa memasang kemah dan menikmati hidup di dalam yang tenang dan damai terpisah dari keramaian. Tanah-tanah luas tersebut bisa juga merupakan desa kuno, ladang, gereja, kastil, rumah terkenal yang dihubungkan dengan seniman, sastrawan atau negarawan dan istana-istana kaum ningrat pada jaman-jaman lampu.

Karena merasa tertarik maka saya terima ajakan mereka untuk masuk menjadi anggota. Bayar keanggotaannya lima pound. Dengan kartunya yang berlaku satu tahun maka saya bisa bebas masuk di semua peninggalan yang dimiliki oleh National Trust, baik di England, Wales maupun Irlandia Utara. Tanpa jadi anggota maka akan lebih banyak ongkos yang dikeluarkan untuk beli kercis masuk.

Selain National Trust ada pula Maritime Trust, yang khusus mengurus kapal-kapal penting dan bersejarah, yang dianggap perlu dijadikan teladan kepada masarakat, bahwa dulunya demikian, nakodanya si Fulan, pertempurannya di laut sana dan peninggalannya ini, itu dan lain-lain. Atau kapal tersebut dipakai untuk mengangkut para imigran ke Amerika atau Australia. Atau ini milik bekas seorang pecinta alam yang menyebarangi samodra-samodra luas seorang diri dan lain-lain.

Kalau gedung itu monumen-monumen di darat dan tinggal memanggil arsitek banguna beserta tukang-tukangnya untuk memperbaiki yang rusak-rusak – demikian yang biasa dikerjakan National Trust, tidak demikian yang dilakukan Maritim Trust. Yang terang di tepi pantai, dekat pelabuhan, atau daratan yang tidak jauh dengan laut atau sungai. Tapi sebelum itu melalui proses yang cukup pelik. Sering rongsokan kapal yang akan dipugar masih terkadas dekat suatu pulau, atau terkatung-katung di tengah laut. Maka perlu digeret. Dibutuhkan tenaga penggeret, katrol serta pengerahan tenaga manusia. Ini sudah bikin pening kepala. Saya pikir orang-orang Inggeris itu gila. Buat apa kapal rombengan ditarik-tarik. Lalu dimasukan dok. Dikerok. Diganti yang robek-robek atau yang karat dengan baja baru. Kayunya diganti. Bikin meriam-meriam kuno dari – maaf, maaf ini, karton yang sudah diperkuat – pasang lagi tali temali dan layar. Nah, ini semua sudah ratusan ribu poundsterling dikerahkan. Belum juga selesai. Cari duit lagi. Dan anehnya masarakat sudah beli karcis tiap hari, menyaksikan kapal kuno yang belum selesai. Mereka nonton yang kerja. Jiwa bahari orang-orang Inggris memang amat mendarahdaging. Sejak ork sudah ditanamkan bahwa nenekmoyangnya dulu pelaut ulung, pahlawan, avontir dan bahkan bajak laut!

Orang-orang pensiunan Angkatan Laut juga tidak mau ketinggalanm dalam kegiatan semacam yang dilakukan Maritime Tust. Para pensiunan ini membentuk sendiri yayasan mereka. Mengajukan kepada Hankam apa boleh beberapa kapal bekas Perang Dunia II diseret masuk ke dalam kota London (tepi Thames) dan dipamerkan kepada umum. Disetujui dan Hankam tidak mau tahu soal perawatannnya. Harus cari sendiri. Dan gilanya lagi mereka giat cari uang dan dengan segala pengorbanannya berhasil. Itulah HMS Belfast. Meriam-meriamnya saja sebesar batang-batang kelapa. Pengunjung bisa masuk sampai ke ruang-ruang mesin di dasar kapal, melewati tangga-tangga besi licin dan berbahaya. Anehnya sampai orang tua yang sudah nenek-nenek begitu kepinginnya melihat sampai jauh turun ke bawah sekali!

Mungkin terpengaruh oleh National Trust dan Maritim Trust maka kumpulan-kumpulan yang lebih kecil membuat kegiatan yang semacam. Saya lihat di Hambrurg, suatu desa pantai sebelah urata New Castle, banyak orang melihat perahu penyelamat yang panjangnya cuma lima meter. Kejadiannya tahun 1840-an ketika pada suatu hari sebuah kapal penumpang tenggelam. Seorang ayah dengan anak gadisnya yang bernama Grace Darling memberikan pertolongan dengan perahu tersebut. Delapan orang berhasil hidup. Penolongnya adalah penunggu marcusuat. Sayang Grace Darling meninggal beberapa bulan kemudian akibat serangan tbc. Tetapi orang sudah tahu semua dan tidak melupakan kepahlawanannya yang hebat, mempertaruhkan jiwanya sendiri dalam amukan North Sea, Laut Utara yang memang tidak pernah ramah. Dan kepada hal-hal (yang mungkin orang lain anggap remeh serta peristiwa biasa saja) ini orang Inggris memberikan tempat yang layak dan terhormat. Makan Grace Darling ditanam di halaman sampung gereja tua di dusun tidak jauh dri mercusuat itu. Namanya diabadikan dan tiap orang mengenang sampai kapanpun. Para penyair setempat menciptakan sajak-sajak khusus untuknya dan para penyanyi menyanyikan keagungan serta ketulusan hatinya.

Kompas, 08/12/75, hal.1

KISAH MENCETAK KEMBALI PRASASTI PURNAWARMAN
Oleh: Rahmat Ali

RAJA Purnawarman dari Tarumanegara pada abad ke 5 sesudah Masehi meninggalkan beberapa prasasti batu. Berdasarkan penemuan-penemuan itu, para ahli mendpat gambaran kasar bahwa kekuasaan raja tersebut membentang antar sungai Citarum sampai Cisadane. Tetapi berhubung penemuan lebih baru pada tahun 1954 di desa Lebak, yang berada di luar kawasan yang atelah disebutkan lebih dulu oleh para ahli, maka prasasti yang terus di lacak oleh para petugas purbakala menjadi makin menarik.

Seperti prasasti Purnawarman lainnya, prsasti Rupun berada di tengah sungai. Batunya selain besar dan berat juga melekat pada seluruh dasar sungai, sehingga sangat tidak mungkin diangkat dan di pindahkan ke museum. Andaikata bisa, pasti membutuhkan peralatan dan perlengkapan serba raksasa.

Oleh karena pihak museum tetap ingin agar batu prasasti yang berharga ini bisa dilihat pula oleh para pengunjung kota, maka perlulah kiranya dibuatkan tiruannya. Caranya dengan mencetakkembali. Berikut ini kami paparkan kisan perjalanan menuju tempat prasasti tersebut, yang banyak mengerahkan tenaga, yang banyak mencucurkan keringat, tetapi akhirnya berhasil juga menyelesaikan tugas.

Perjalanan Berat

Sasaran yang kami tuju adalah desa Lebak, kecamatan Munjul, suatu daerah paedalaman selatan kota Pandeglang. Jika diukur jaraknya dari pantai Samodra Indonesia, tinggal k.l. 22 Km lagi. Jadi sudah tidak begitu jauh.

Jalanan aspalnya hanya sampai Pasir Tenjo. Dengan perantaraan lurah setempat bisa dikerahkan 8 orang membantu memikulkan beban masing-masing 10 Kg. Mereka hanya bisa berjalan sejauh 9 Km, yaitu sampai di kantor kecamatan desa Munjul. Dari sini, perjalanan masih 7 Km lagi ke tempat yang tidak jauh dari prasasti. Para pemikul ganti. Orang-orang yang segar dari Munjul. Berati ongkos baru pula. Di pos terakhir ini kami menumpuk bahan=bahan dan perbekalan.

Letak prasasti yang tepat adalah di tengah-tengah sungai Cidangiang. Kalau diterjemahkan berati sungai Nenekmoyang, atau Leluhur atau Dewa. Jadi sungai yang mempunyai arti suci. Jalanannya yang setapak sudah hampir tidak kelihatan lagi saking lebatnya ilalang setinggi manusia. Makin lama makin menurun dan akhirnya sampailah di sungai Dewa itu.

Di situ kami mencetak Gips yang dicampurkan semen sehingga seperti bubut menjadi dua kali berat semula, setelah menjadi alat cetak kering. Tukang pikul harus ditambah. Biar begitu, masing-masing pemikul toh masih harus mendapat bagian seberat 60 Kg. Kami harus menempuh rute semua. Sampai di Munjul ganti orang lagi. Yang belakangan ini agajk susah juga. Mereka menggerutu bahkan marah dan ingin meninggalkan tugas saja maunya. Kalau tidak pandai-pandai mengambil hati, kalau tidak sering-sering mengajak mereka istirahat dulu sambil minum-minum dan merokok, bisa berabe juga. Kami mengeri betapa berat yang harus mereka angkat dan pikul dengan bahunya, tangannya, juga kaki-kakinya yang sudah loyo itu. Untuk bujukan-bujukan itu terpaksa kami harus mengeluarkan biaya lebih banyak. Terutama rokok. Sudah tidak terhitung berapa kali berhenti di tengah jalan. Alasan hujan dan jalanan licin memang benar. Tapi akhirnya sampai juga kami di Pasir Tenjo tempat kami semula menitipkan kendaraan. Sebuah jib. Tetapi karena beratnya beban, maka sampai di Bandung, kampas kapling dan temnya jebol. Dua pernya harus diganti dengan yang baru. Tapi pekerjaan sukses.

Cara mencetak

Cara membuta cetakan cukup menarik untuk diketahui oleh umum.
Dari orientasi pendahuluan, segeralah diketahui berapa besar ukuran prasasti yang berada di tengah-tengah sungai Nenekmoyang itu. Untuk ukuran 2m x 1 1/2m dibututuhkan bubuk gips seberat 300 Kg semen sebagai pencampur 1/10-nya gips, berati 1 ½ sak. Juga kawat ukuran 5 mm sepanjang 25 m ditambah kawat kandang ayum seukuran batu prasasti. Kawat-kawan ini dipakai nantinya seperti fungsi beton bangunan. Tidak boleh dilupakan pula vaselin satu kaleng (= 1 Kg).

Tahap selanjutnya adalah membersihkan batu prasasti dengan cermat. Disikat. Seluruh bagian prasasti, huruf-huruf dan gambar-gambar atau lekak-lekuk bahkan sampai ke pori-pori batu, dipoles dengan vaselin. Jangan ada yang sampai tidak kena poles. Maksudnya, kalau semua sudah kena polesan, maka tidak akan ada yang lengket dengan gips kalau sudah kering. Jadi mudah dicopot kembali.

Keadaan gips dan semen yang sudah jadi bubur diusahakan tidak begitu cepat mengering. Kalau sudah menempel pada batu prasasti, segera ditutup dengan kertas atau plastik. Agar kalau hujan turun, tidak kebasahan. Yang menjadi problim ketika sungai Cidangiang, adalah makin meningkatnya permukaan air setelah turun hujan. Terpaksa penyemenan ditunda. Menunggu cuaca normal kembali.

Proses pengeringan gips berlangsung sekitar delapan. Penyemenan tidak bisa secara totol;, tetapi sebagian demi sebagian. Misalnya: bagian kiri-atas merupakan satu bagian. Kiri-bawah-tengah satu bagian lagi, demikian pula kiri paling bawah, Menyusul tengah-atas, sentral, dan tengah-bawah. Begitu seterusnya, sampai seluruhnya tertutup gips.Jangan pula dilupakan mengikatnya dengan tali.

Setelah dicopot, sebagian demi sebagian dibungkus dengan kertas sampai tebal hingga tidak pecah atau retak kalau terbentur.

Dengan demikian kita sudah memiliki pencetak batu prasasti lengkap dengan huru-hurufnya. Kita tinggal menyerahkan kepada pemborong posisi di sebelah mana batu prasasti tiruan nantinya diletakkan di dalam ruangan museum. Dan kalau dilihat sepintas, tampak lebih bagus dari prasasti aslinya, 100% persis. Mungkin yang asli di tengah-tengah sungai, demikian juga masih berada di pedalaman Bogor, bisa rusak, bahakan dikuwatirkan dihanyutkan banjir besar, atau dirusak tangan-tangan jahil.Jelaslah sudah bahwa pembuatan duplikat mempunyai nilai-nilai positif, baik untukmenolong mereka yang tidak sempat pergi melihat ke tempat aslinya yang jauh dan sukar, maupun untuk meringankan beban para peneliti. ***

Kompas, 4 Januari 1978

Beberapa Tempat Pembuatan Perahu
di Pesisir Utara Jawa Tengah

Oleh: Rahmat Ali


KETIKA kerajaan Demak pernah mencapai puncak kejayaannya di bidang maritim, yang kemudian dilanjutkan oleh Ratu Kanyamat dari Jepara, jelas diberitakan betapa banyak kapal dan perahu-perahu dimiliki pada jaman itu. Bukan saja untuk keperluan perdagangan, tetapi juga untuk keperluan militer. Dengan tersedianya alat pengangkutan air (di sungai-sungai dan di laut lepas) maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa para pembuat perahu-perahunya juga seimbang. Bahkan menurut babad, Sunan Kalijaga sendiri dikenal pula sebagai ahli pembuar kapal. Tiang-tiang saka dari mesjid Demak sangat persis dengan tiang-tiang kapal besar.

***

LALU kemana para atukang perahu/kapal itu setelah sekian lama jaman telah berganti? Jepara yang dulu bandar besar sekarang sudah tenggelam dan menjadi kota ‘dalam’ dengan pelabuhannya yang agak jauh dan kecil. Kota Demak juga berada di ‘dalam’. Sedang pelabuhan nelayan yang bernama Moro Demak + 12 Km dari mesjid Demak.

Di dalam rangka mencari data-data bahari dari jaman tersebut kami lalu mengadakan perjalanan menyusur pantai utara Jawa Tengah.Pertama kali yang kami tuju sebagai sasaran adalah ujung paling timur. Kami berhenti di kecamatan Sarang yang berbatasan dengan Jawa Timur. Di situ ada tiga desa nelayan yang cukup ramai. Salau satu desa itu bernama Barang Medura. Di sinilah terdapat beberapa tukang perahu sedang menyelesaikan pesanan. Jenis perahu yang dibuat di situ adalah “konting” dan “logung”.

Perjalanan kami teruskan lagi ke arah barat. Kami berhenti di desa Pandangan. Di sini kami hanya menemukan seorang tukang perahu jenis “jukung”, yang terbuat keseluruhannya dari sebatang pohon. Nanti kalau sudah selesai akan diperlengkapi dengan dayung dan cadik serta layar. Cadik diperlukan sebagai pengimbang. Bisa satu cadik saja yang dilekatkan di sayap kanan. Bisa dua cadik, yang dilekatkan di samping kiri dan kanan. Kemudian dicar warna-warni menurut kesukaan pemiliknya.

Tempat pembuatan perahu berikutnya yang makin dekat dengan pusat “Ibukota” kerajaan Demak adalah daerah Wedung. Letaknya di sebelah timur laut,s ekitar 17 Km dari kota Demak. Di sini perahu-perahu yang dibuat adalah dari jenis “sopek”. Panjang perahu 6 meter, lebar 1,80 meter.Pakai dua layar. Ketika kami datang di Wedung, yang sedang asyik menyelesaikan perahu sopek adalah tukang-tukang di desa Sabetan Wetan (duaperahu) dan desa Bribigan (satu perahu). Di desa Sabetan Wetan ini kami lihat satu bangsal besar terbuka. Di situ banyak belahan papan jati. Ada satu sopek yang baru saja selesai dan sudah diluncurkan ke sungai kecil, yang merupakan parit-parit dimana satu sopek bisa lewat. Parit-parit ini akhirnya masuk ke sungai. Dan di kanan-kini parit atau suangai-suangai kecil itu, rumah-rumah nelayan serta juragan-juragan.

***
TUKANG adalah jabatan seseorang yang sudah memiliki keahlian dan pengalaman. Dan di sini yang dimaksud adalah tukang perahu. Tukang-tukang perahu ini dibantu oleh “kenek-kenek” yang kerjanya menuru perintah dari tukang. Sedang tukang sendiri bisa pemilik perusahaan pembuatan perahu, atau si tukang berada di bawah juragan. Juragan bisa hanya orang yang mempunyai tempat dan modal, bisa juga tukang yang tidak pernah menyerut-nyerut kayu lagi. Dia tinggal mengawasi tukang-tukang bawahannya, yang bertanggungjawab penuh kepadanya.

Umumnya di Wedung tukang adalah juga juragan. Tukang itu pula yang berhubungan pangsung dengan pemesan-pemesan perahu. Para pemesan bebas memilih. Oleh karena itu tukang-tukang perahu harus menjaga namanya. Jangan sampai cacat atau mengecewakan pemiliknya kelak. Dan biasanya para pemilik perahu tahu betul di mana tukang-tukang yang baik. Tidak mengherankan kalau jenis perahu seperti “konting” pasti harus dipesan di desa Sarang Medura. Jenis “jukung” yang bercadik harus dipesan di desa Pandangan. Demikian pula dengan “sopek” di kecamatan Wedung.

Selain Wedung, juga tidak jauh dari situ adalah Moro Demak. Tetapi lebih kecil.Lagi pula jarang-jarang orang membuat. Yang tampak hanya melakukan reparasi-reparasi kecil, seperti menembel yang bocor, mengganti yang compel dan lain-lainnya lagi yang tidak berat.

Tempat pembuatan perahu lainnya yang agak jauh dari Demak adalah kota Semarang. Letaknya di Tambak Lorok, tetapi jika dibandingkan dengan yang sudah kami sebutkan, tampak kecil sekali kegiatannya. Jauh lebih sibuk di Wedung.

Kami tidak mengatakan bahwa tempat-tempat inilah yang pernah dikerahkan oleh Pangeran Sabrang Lor, Sultan Trenggono dan Ratu Kalinyamat untuk memproduksi kapal-kapal dan perahu-perahu pengakut sebanyaknya. Tetapi biarpun begitu kami belum menemukan tempat-tempat lain. Hanya desa Gribigan di Wedung (dekat sekali dengan desa Sabetan Wetan) yang namanya juga pernah sering disebut-sebut sebagai tempat pembuatan perahu sejak dulu.

Yang jelas, baik di Sarang maupun di Wedung, sama-sama memiliki keahlian secara turun temurun. Mereka mendapatkan pengetahuannya dari ayah. Ayah dari kakek. Dan kakek dari kakeknya lagi. Dari generasi ke genarasi. Dan karena tidak ada perobahan maka dari dulu sampai sekarang begitu itulah bentuknya. Yang penting ya begitulah bentuknya konting. Yang jukung itu bentuknya jukung. Demikian pula yang sopek, yang sekarang ini perahu-perahu tersebut memenuhi pelabuhan nelayan Moro Demak.

Perahu-perahu konting dikenal dengan jumbai-jumbainya di samping cemetinya yang tampak mau melecut langit agar tetap erah dan banyak angin. Perahu jukung dikagumi karena motip-motip hias pada badannya, serta bentuknya yang ramping dan manis. Sedang sopek di Moro Demak karena merata dengan permukaan air, serta layar-layarnya, yang kemudian cepat ditutup setelah merapat di Moro Demak.

***
SAYANG nasib perahu-perahu tradisiona yang indah dan sebagai penghias pesisir utara bagian timur ini mulai terancam dengan bergantinya jaman. Orang-orang nelayan sendiri semakin ketarik kepada perahu-perahu lebih besaran dan yang bermesin. Katakanlah itu kapal motor kecil.

Lagi pula radius kehidupan nelayan di laut pesisir juga makin menyempit. Ini banyak dipengaruhi oleh makin banyaknya kapal-kapal penangkap ikan besar. Biasanya kapal-kapal itu beroperasi menangkap ikan di lautan lepas, yang jauh dari pesisir. Tetapi akhir-akhir ini para nelayan dari kapal-kapal itu seperti mau melahap laut seluruhnya, termasuk laut di pesisir. Mereka inilah yang mebentangkan jaring ribuan meter. Ikan-ikan besar dan kecil tertangkap semua di dalam jaring mereka yang raksasa. Jaring harimau. Itulah jaring sangat menguntungkan nelayan besar, tetapi sangat menipiskan harapan nelayan-nelayan kecil. Tidak heran kalau nelayan-nelayan dengan perahu-perahu tradisionalnya itu pulang ke darat hanya dengan hasil tangkapan sekedarnya saja. Hanya tiga atau empat pikul keranjang kecil, berisi ikan-ikan kecil.

Para pembuat perahu tradisioniljuga makin sedikit mendapatkan pesanan. Kalau dulu para pemesan perahu datang sendiri. Sekarang sudah sering para tukang perahu tidak bekerja di tempatnya. Para tukang perahu sering dipanggil. Berikut alat-alat pertukangannya. Pergi ke tempat-tempat jauh dimana pemesannya berada. Jaman memang telah berganti. Dan orang harus menerimanya.***


Lumba-lumba


Penyu Pangumbahan


Gasing11


Gasing10


Gasing9


Gasing8


Gasing7


Gasing6


Gasing5

Tuesday, May 30, 2006













Gasing4


Gasing3


Gasing2


Gasing






Monyet Pemetik Kelapa

Monday, May 22, 2006

OLEH-OLEH
KONGRES CERPEN
DARI PEKANBARU

/ laporan Rahmat Ali

I.
Kongres Cerpen bagi orang awam pasti mengherankan. Apakah cocok cerpen yang merupakan salah satu bentuk pengutaraan sastra lisan atau tulis kok dikongreskan secara besar-besaran dengan mengundang banyak peserta dari berbagai daerah di tanahair tercinta ini? Biasanya yang melaksanakan kongres atau sering juga disebut muktamar itu organisasi partai politik, lembaga sosial dan sejenisnya. Misalnya muktamar suatu lembaga atau kongres partai Anu dll-nya. Bagaimana juga yang terjadi di Pekanbaru benar-benar Kongres Cerpen. Malah bukan yang pertama kali diselenggarakan. Sudah yang ketiga kalinya, dan yang keempat di Pekanbaru keempatnya, dari tgl 26 s/d 29 November 2005. Yang pertama di Jojakarta, kedua di Bali dan dua tahun yang lalu di Lampung. Mayoritas para pesertanya adalah cerpenis-cerpenis lelaki perempuan yang terkenal atau tidak terkenal dari seluruh negeri terkecuali NTT, Maluku dan Irian Jaya. Datang dengan pesawat. Jika yang dekat-dekat saja, menggunakan angkutan bis. Selain para cerpenis juga ikut aktip hadir para mahasiswa dari Unri, Unlak, para guru bahasa di SMU se Propinsi Riau, serta seniman-seniman setempat. Sesuatu yang istimewa pada malam pembukaan kongres adalah pidato sastra yang disampaikan oleh drh. Chaidir MM, seorang yang mempunyai jabatan sebagai Ketua DPRD Propinsi Riau. Atdapun atraksi keseniannya disajikan oleh kelompok mahasiswa Akademi Melayu Riau yang telah terlatih dan tertata rapi hingga berhasil penuh pukau. Taufik Ikram Jamil sendiri tampil pula membacakan sebuah cerpen "Pilu" karya Suman HS yang penuh gaya penuturan logat Melayu yang fantastis. Pada umumnya para peserta senang sekali menghadiri Kongres Cerpen di Pekanbaru. Bukan hanya berkongresnya saja yang mereka sukai. Saat-saat bertemu dengan para cerpenis terutama yang dari daerah-daerah jauh, sungguh merupakan momen besar untuk saling tukar pengalaman sekaligus banyak anekdot yang tidak terlupakan. Walau belum di ruang sidang resmi pun mereka sudah berdialog cukup seru dengan topik sukaduka membuat dan kemudian mengirimkan cerpen-cerpen ke berbagai suratkabar yang memiliki ruang budaya. Mereka berkumpul di kamar saya untuk "pemanasan" berdiskusi dengan disanggah kawan-kawan dengan sengit sementara Maman S. Mahayana "memandu" penuh bijak. Yang bersemangat dan ramai mengutarakan uneg-unegnya yang berkaitan dengan penciptaan adalah cerpenis Olyrison (yang selalu mengirimkan cerpen-cerpennya untuk lomba dan sering menang; novelnya "Dua Digit" juga secara ekspres dicipta). Kawannya adalah Abel, guru ya cerpenis.

II.
Saya berkecimpung di bidang tulis-menulis cerpen sejak tahun 1958, hingga sekarang pensiunan PNS saya masih mencipta cerpen. Kegiatan-kegiatan yang ada kaitan cerpen dan sejenisnya selalu saya ikuti. Maka di TIM wajah saya tidak asing. Saya pun hadir saat Kongres Cerpen di kota Lampung yang acara penutupannya berwujud berpesiar pakai kapal ke gunung Krakatau. Beberapa bulan yang lalu saya juga ikut "Seminar Naskah Kuno" di Bau-bau, Sulteng, yang peserta luarnya dari Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jerman serta Rusia. Dan kini di Pekanbaru saya mendapat undangan. Untuk bisa datang saya mencari sponsor ke Dinas Pariwisata DKI dan AURI. Dari instansi yang disebut terakhir saya bisa naik Hercules. Berhubung kedatangan sebelum waktu maka terlebih dulu saya harus tidur di hotel yang tidak ditanggung panitia untuk semalam namun sehari kemudian pindah ke hotel yang jadi pilihan panitia sekaligus tempat berlangsungnya Kongres Cerpen. Peserta awal yang saya jumpai adalah dua mahasiswa UI. Yang berikutnya yaitu dua cerpenis wanita Kalimantan Timur asal Balikpapan (Santi) dan Bontang (Tri Wayuni) serta Raudal Tanjung Banua bersama isteri plus seorang anaknya laki-laki usia lima tahun dari Jogjakarta. Sehari kemudian makin ramailah hotel dengan banyak peserta yang menyusul hadir. Antara lain ada Gus tf Sakai dan Darman Munir dari Sumatra Barat. Kemudian Yetti dari Medan. Jamal T. Suryanata dan kawan-kawannya dari Kalsel. AS Kumba dan Wawan dari Sulsel. MM Bhoernomo dari Kudus. Leres Budi Santosa dari Surabaya. Juga Ratih Kumala dari Solo. Ahmad Tohari dari Purwokerto. Cerpenis kawakan Budi Darma dari Surabaya. Ada Joni Ariadinata. Ada kritikus Maman S. Mahayana dan dosen sastra UI Melani Budianta serta cerpenis Hamsad Rangkuti, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Ahmadun Y Herfanda berikut Nirwan Dewanto serta Eka Kurniawan yang semuanya dari Jakarta. Adapun cerpenis tuan rumah sendiri Taufik Ikram Jamil (Ketua DKR/Dewan Kesenian Riau) dan Fachrunnas MA Jabar paling aktip menjamu para tamu, terlebih lagi Ketua Panitia Pelaksananya sendiri, Marhalim Zaini. Dia yang pertama kali menyambut saya di areal Dewan Kesenian Pekanbaru dua hari sebelum hari H. Kondisi arealnya mirip TIM di Jakarta. Di situ ada gedung Akademi Melayu Riau yang mirip IKJ dengan para mahasiswanya berbagai jurusan seni. Cerpenis lainnya yang hadir adalah Yan Sancin dan Sunli Thomas Alexander dari Bangka. Lalu Isbedy Stiawan (Lampung) yang getol berkomunikasi dengan kawan-kawan para cerpenis dan banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu demi satu.

III.
Sambil lalu pada saat-saat luang biasanya pagi-pagi sekali saya dan kawan-kawan cerpenis tidak lupa menyempatkan diri berkunjung ke tempat-tempat menarik di sekitar Pekanbaru. Pertama-tama karena tidak begitu jauh dan di depan hotel dilewati angkot maka kami bisa langsung melihat-lihat pelabuhan Sei Kudu di tepi sungai Siak. Lebar sungai antara 100 meter. Jam tujuh pagi kapal kayu yang tertutup dengan jendela-jendela kecil datang berlabuh dari Selat Panjang. Kapal tersebut berangkat dari Selat Panjang sore menempuh pelayaran 12 jam. Dari pelabuhan Sei Kudu juga sudah siap sebuah feri menuju Tanjung Balai dan Batam. Saat berangkat atau datang kapal-kapal yang menyusuri sungai Siak tidak boleh cepat. Pelan-pelan saja sesuai aturan tidak menimbulkan gelombang. Jika dilanggar dan terjadi maka tebing-tebing pinggir sungai bisa longsor. Padahal di situ rumah-rumah penduduk berdiri. Mereka yang tinggal di situ bisa mengejar kapal, bukan saja memprotes namun juga mengamuk ramai-ramai. Sasaran kedua yang lebih sering kami kunjungi adalah kedai kopi yang tersohor di Pekanbaru. Yang kami maksudkan "Kimteng", nama tersebut berpulang kepada pemiliknya, pejoang veteran Tionghoa bernama Kim Teng yang sudah banyak jasanya di masa-masa lalu. Kim Teng sudah meninggal dunia. Sang pengganti adalah anak sulungnya. Rasa kopi Kimteng sangat yahud. Tempatnya nyaman. Di bagian depannya ada pondok bubur, lontong, mi ayam dan mi goreng serta roti bakar berselai srikaya. Pembuatan kopinya sangat unik sesuai proses yang menghasilkan kenikmatan.Begitu nyamannya rasa kopi Kimteng dengan hidangan lain-lainnya sehingga para pengunjung betah duduk berlama-lama ngobrol, berbisnis juga dan berlobi. Bukanya jam 6 pagi sampai tengah hari. Lalu tutup sebentar. Nanti jam 3 sore buka lagi sampai jam 5 dan hari Minggu tutup. Karena favorit kami besok paginya sebelum acara kongres mengulang datang untuk ngopi, bisa juga minum air tahu dan menikmati lontong, bubur ayam atau roti bakar berselai srikaya yang hangat renyah. Hadirlah di situ Sutardji Calzoum Bachri, Hamsad, Maman S. Mahayana, Gus tf Sakai, Fachrunnas MA Jabar, Ahmadun, Nyoto, Abdul Hadi, Ahmad Tohari, Sancin dan banyak lagi lainnya. Setelah dihitung-hitung ada sekitar 150 kursi. Semua penuh. Jika seseorang menghabiskan Rp20.000,- maka bisa ditaksir berapa pendapatan Kimteng dalam satu jam atau sehari kemudian sebulannya. Iklan-iklan masuk juga ke kedai Kimteng. Dari bank. Dari perusahaan minuman. Dari perusahaan LG yang menginstalasi layar tv sedinding besar hingga para pengunjung sambil ngopi bisa juga menikmati siaran National Geographic, Discovery, Animal Planet serta siaran CNN dan sejenisnya. Di situ juga para pegawai pemerintah berbondong tidak segan-segan "hadir absen", lengkap dengan seragam Korpri-nya pada jam-jam kerja tanpa ada sedikit pun bersungkan-sungkan!

IV.
Pekan Baru berpotensi besar di bidang sastra, dalam hal ini cerpen, yang sudah dikenal sejak zaman Suman HS masih hidup. Beliau lahir tahun 1904 di Bengkalis. Menurut Marhalim Zaini di koran "Riau Pos", Ahad 27 November 2005, seabad kemudian (tahun 2004) tersaring 61 penulis cerpen yang tertera di dalam buku "Satu Abad Cerpen Riau" (482 hlmn). Mengapa diselenggarakan Kongres Cerpen?— tanyanya. Karena beragam media massa cetak terutama koran selalu memuat cerpen tiap minggu, juga di majalah-majalah hiburan dan remaja. Namun waktu itu tahun 1974 pada pertemuan-pertemuan seni yang umumnya dibahas hanya novel dan puisi saja. Cerpen belum disentuh-sentuh. Hal tersebut membuat risau jika cerpen selama itu "dikalahkan" oleh topik-topik novel dan puisi melulu tidak ada lainnya lagi. Barangkali di dalam Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru ini merupakan sebuah upaya untuk menjawab kerisauan tersebut. Di situ menjadi wahana yang positip untuk mempergunjingkan sejumlah problem dan mungkin kelak Kongres Cerpen berikutnya akan menemukan "obat" penyembuh "penyakit" di dalam cerpen Indonesia, atau sekedar memperpanjang deretan kerisauan lain. Apakah dari 61 cerpenis Riau yang disebutkan masih terus bertahan hingga kini? Lagi-lagi Marhalim Zaini menulis, bahwa sejak September 2004 hingga akhir 2005, selain yang telah terbit berwujud "Pertemuan Dalam Pipa" (DKJ 2004) dan "Seikat Dongeng Tentang Wanita" (berisi antologi cerpen pilihan koran "Riau Pos", terbitan Yayasan Sagang 2004), hanya satu dua cerpen saja dari para cerpenis Riau yang muncul termuat di beberapa media massa nasional. Di media lokal seperti "Riau Pos", "Riau Mandiri", majalah "Sagang" dan majalah "Berdaulat", yang tampak muncul hanya nama-nama cerpenis yang itu-itu saja. Teramat sulit ditemukan catatan-catatan apalagi kritik tentang karya-karya (maksudnya cerpen) khususnya dari penulis Riau, tulis Marhalim Zaini menambahkan.

V.
Ada hantu? Benarkah di hotel tempat menginapnya para peserta Kongres Cerpen sering diusik hantu? Saat saya mendengar sasus tersebut sungguh tidak percaya. Itu mengada-ada saja, pikir saya. Yang membeberkan berita adalah peserta cerpenis-cerpenis wanita. Mereka berbisik dan lama-lama jadi seru, serius pula. Saya dan seorang cerpenis Bangka menginap di kamar sebelah mereka. Sorenya cerpenis-cerpenis wanita tersebut (tiga orang) meminta dengan sangat agar saya mau bertukar kamar. Saya dan Alexander ke tempat mereka dan sebaliknya mereka ke tempat saya. Demi pertemanan dan keibaan, saya manut saja. Mereka senang sekali. Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Salah seorang cerpenis wanita itu bilang bahwa pada malam sebelumnya mereka sudah menutup dan mengunci pintu kamar serapat-rapatnya. Selain kunci ada pula rantai penguat. Namun tengah malam pintu terkunci tersebut membuka dengan sendirinya. Lalu ditutup dan dikunci kembali. Tengah asyik membicarakan peristiwa yang baru terjadi, pintu yang telah terkunci rapat itu membuka kembali. Siapa membuka? Penjahat atau seseorang yang berniat tidak baikkah? Mereka merinding. Tidak tidur-tidur sampai pagi. Yang dialami cerpenis laki-laki dari Medan lain lagi. Dia waktu itu di kamarmandi. Terdengar suara ketukan pada pintu, tapi tidak ada siapa-siapa. Seorang isteri cerpenis Jogjakarta suatu malam sebelum tidur asyik merokok tenang. Bungkus rokok yang masih bersisa ditinggalkan di meja dan dia berjalan sebentar ke tempat tv. Saat kembali, dia jumpai bungkus rokoknya sudah kosong. Dia heran. Kan tadi ada? Kok lalu hilang begitu saja? Siapa ambil? Alexander, cerpenis Bangka, saat di kamarmandi menyaksikan kran air tanpa ada yang memutar, mengucur sendiri. Muka Alexander merah. Saya yakin dia ketakutan sekali. Yang hebat adalah pengalaman cerpenis wanita dari Kaltim. Sehabis magrib mandi, dia menyabun. Dengan mendadak lampu mati. Gelap. Tanpa perduli sedang telanjang dia lari keluar kamarmandi masih bersabun! Gegerlah sekelompok cerpenis walau disiarkan secara bisik-bisik dan pihak panitia pun tahu. Namun tidak ada komentar. Penanggulangannya sendiri-sendiri. Antara lain setelah acara resmi selesai, "pelariannya" ke kedai di depan hotel yang ada musik karaokenya. Di situ minum-minum untuk melupakan peristiwa sambil ngobrol menunggu lewatnya tengah malam. Katanya setan-setan akan menghilang sendiri selewat tengah malam. Sesudah itu mereka dari berkaraoke kembali ke kamar masing-masing namun tidak bisa/tidak berani tidur sampai pecah pagi. Aneh juga, besoknya kedapatan puntung-puntung tercecer di depan pintu-pintu kamar. Menurut kisah dari beberapa penduduk Pekanbaru, sekitar enam bulan yang lalu terjadi pembunuhan di hotel tersebut. Korbannya cukong dan pembunuhnya juga cukong. Korban dipotong-potong. Dimasukkan kopor dan dibawa keluar hotel. Karena darah menetes dan potongannya membuka tutup kopor, ketahuanlah si pembunuh kemudian ditangkap. Roh tersebut kata orang-orang tidak bisa pergi ke alam kelanggengan dan menetap di tempat dia dibunuh. Maka mengganggu para penghuni kamar dan sekitarnya. Kemungkinan hantu itu perokok berat. Karena itu mencuri rokok peserta Kongres Cerpen. Hotel tersebut segera berganti nama. Bekas kamarnya telah direhab. Sementara itu hantunya (tanpa diketahui banyak orang) masih bergentayangan di situ!

VI.
Tema Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekan Baru 2005 ini adalah "estetika lokal". Dibahas di hari pertama Ahad 21 November dari pagi sampai sore dan malamnya pembacaan cerpen oleh Ratih Kumala (Solo), Ira (Bangka), Isbedy Stiawan ZS (Lampung) dan Jamal (Banjarmasin). Pemakalah pertama adalah Ahmad Tohari (novelis "Ronggeng Dukuh Paruk" asal Purwokerto). Dia memberikan masukan "Lokalitas Desa", tidak lain hal-hal yang menyentuh persoalan masyarakat agraris yang sering terhimpit & tertindas oleh pihak-pihak yang tidak punya rasa tanggungjawab. Seorang petani dan isterinya sedang giat di sawah. Suaminya mengamati sang isteri saat berjalan di sepanjang pematang. Muatan lokal demikian sangat kental dihayati Ahmad Tohari namun sayangnya amat sedikit dari para cerpenis yang mau menjadikan dunia pedesaan menjadi sesuatu (katakan itu inspirasi atau ide) yang bisa dimanipulasi menjadi karya. Para cerpenis banyak yang kehilangan kepekaan pada dunia desa. Mungkin banyak yang sudah tinggal di kota dan merasa "moderen". Ini penghianatan yang kejam. Yang sebenarnya tidak begitu beda dengan itu adalah Taufik Ikram Jamil, pemakalah "Lokalitas Melayu", yang menurutnya adalah kesadaran sejarah yang memang kental ditulis di dalam karya-karya novelnya, walau diakui bahwa dia tidak hidup untuk masa lalu melainkan masa kontemporer dan yang akan datang. Selanjutnya Taufik mengemukakan sebuah persoalan awal daerah lokalnya Riau. "Traktat London" (1824) telah menghancurkan Riau. Tidak lain itulah penyebab terpisahnya tiga kawasan Melayu (Riau, Malaysia dan Singapura) yang sialnya kini Riau menjadi "kampung pinggiran" di sebuah kawasan yang bernama Indonesia. Akibat dari itu penghuni-penghuni di daerah Riau adalah para pembimbang namun tidak bisa kembali. Maka persoalan sejarah bagi Taufik menjadi perhatian khusus, juga bagi penulis Riau lainnya. Masa lampau dijadikan setting penulisan, apakah itu di dalam penciptaan puisi, cerpen atau novel.
Pemakalah lain yang berpartisipasi mengemukakan masalah-masalah lokal berturut-turut: Melani Budianta ("Estetika Lokal Dalam Perspektif Pasca Kolonial"), cerpenis sekaligus Prof. DR. Budi Darma ("Lokalitas Masyarakat Bloomington"), penyair Abdul Hadi WM ("Lokal Genius Cerpen Indonesia") dan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri ("Estetika Lokal Sebagai Mazhab"). Makna estetika lokal pada Kongres Cerpen Indonesia IV tahun 2005 bukan dalam pengertian politik atau administrasi pemerintah melainkan dalam pengertian kultural. Makna lokalitas bukannya sempit melainkan yang lebih komprehensip.

VII.
Sampailah laporan saya pada bagian penutup. Kongres Cerpen Indonesia IV Tahun 2005 di Pekan Baru ini berhasil dengan sukses. Gagasan dan harapan dari para peserta kongres seluruhnya terakomodasikan. Malah berhasil pula membentuk organisasi "Komunitas Cerpen Indonesia" yang antara lain sangat membantu para cerpenis daerah jika hendak menerbitkan karya sastranya. Komunitas juga berupaya mengangkat martabat cerpen menjadi lebih baik, lebih bermutu, lebih yahud dan berkesinambungan. Jika ada gap atau hambatan lain antara cerpenis tua dan muda juga bisa terdamaikan berkat komunitas. Begitu kata Maman S. Mahayana. "Persoalan estetika lokal," katanya, "juga menjadi sesuatu yang telah disepakati sebagai sesuatu yang penting karena merupakan bagian dari masyarakat di mana pun di tanahair ini. Jika ini diabaikan maka jelas cerpenis sendiri mengabaikan tradisi dan dirinya sendiri." Seperti yang sudah saya tuliskan pada pembuka, Hamsad Rangkuti juga menyatakan hal yang hampir sama, bahwa kongres merupakan buhul silaturahmi yang paling cocok untuk para cerpenis di Indonesia fan ini adalah momen ya paling tepat. Hal ini perlu dilanjutkan terus dan diharapkan pemrrintah daerah mau mendukung kegiatan semacam ini.Tentang nuansa lokal cerpenis Hamsad Rangkuti itu menambah: "menggunakan bahasa dan istilah lokal jangan hanya menjadi asesoris saja. Cerpenis harus jeli mengangkat tema-tema atau permasalahan-permasalahan lokalnya. Bahkan, jika ada bahasa daerah yang dipakai jangan dibuat artinya. Biarkan saja pembaca yang mencari apa arti dan maksudnya". Demikian Hamsad Rangkuti di loran "Riau Pos", Rabu, 30 November 2005.

Rahmat Ali, saat di Duri, 2/12/05.