My Photo
Name:
Location: Jakarta, Jakarta Selatan, Indonesia

life is for joy and make friends

Monday, May 22, 2006

OLEH-OLEH
KONGRES CERPEN
DARI PEKANBARU

/ laporan Rahmat Ali

I.
Kongres Cerpen bagi orang awam pasti mengherankan. Apakah cocok cerpen yang merupakan salah satu bentuk pengutaraan sastra lisan atau tulis kok dikongreskan secara besar-besaran dengan mengundang banyak peserta dari berbagai daerah di tanahair tercinta ini? Biasanya yang melaksanakan kongres atau sering juga disebut muktamar itu organisasi partai politik, lembaga sosial dan sejenisnya. Misalnya muktamar suatu lembaga atau kongres partai Anu dll-nya. Bagaimana juga yang terjadi di Pekanbaru benar-benar Kongres Cerpen. Malah bukan yang pertama kali diselenggarakan. Sudah yang ketiga kalinya, dan yang keempat di Pekanbaru keempatnya, dari tgl 26 s/d 29 November 2005. Yang pertama di Jojakarta, kedua di Bali dan dua tahun yang lalu di Lampung. Mayoritas para pesertanya adalah cerpenis-cerpenis lelaki perempuan yang terkenal atau tidak terkenal dari seluruh negeri terkecuali NTT, Maluku dan Irian Jaya. Datang dengan pesawat. Jika yang dekat-dekat saja, menggunakan angkutan bis. Selain para cerpenis juga ikut aktip hadir para mahasiswa dari Unri, Unlak, para guru bahasa di SMU se Propinsi Riau, serta seniman-seniman setempat. Sesuatu yang istimewa pada malam pembukaan kongres adalah pidato sastra yang disampaikan oleh drh. Chaidir MM, seorang yang mempunyai jabatan sebagai Ketua DPRD Propinsi Riau. Atdapun atraksi keseniannya disajikan oleh kelompok mahasiswa Akademi Melayu Riau yang telah terlatih dan tertata rapi hingga berhasil penuh pukau. Taufik Ikram Jamil sendiri tampil pula membacakan sebuah cerpen "Pilu" karya Suman HS yang penuh gaya penuturan logat Melayu yang fantastis. Pada umumnya para peserta senang sekali menghadiri Kongres Cerpen di Pekanbaru. Bukan hanya berkongresnya saja yang mereka sukai. Saat-saat bertemu dengan para cerpenis terutama yang dari daerah-daerah jauh, sungguh merupakan momen besar untuk saling tukar pengalaman sekaligus banyak anekdot yang tidak terlupakan. Walau belum di ruang sidang resmi pun mereka sudah berdialog cukup seru dengan topik sukaduka membuat dan kemudian mengirimkan cerpen-cerpen ke berbagai suratkabar yang memiliki ruang budaya. Mereka berkumpul di kamar saya untuk "pemanasan" berdiskusi dengan disanggah kawan-kawan dengan sengit sementara Maman S. Mahayana "memandu" penuh bijak. Yang bersemangat dan ramai mengutarakan uneg-unegnya yang berkaitan dengan penciptaan adalah cerpenis Olyrison (yang selalu mengirimkan cerpen-cerpennya untuk lomba dan sering menang; novelnya "Dua Digit" juga secara ekspres dicipta). Kawannya adalah Abel, guru ya cerpenis.

II.
Saya berkecimpung di bidang tulis-menulis cerpen sejak tahun 1958, hingga sekarang pensiunan PNS saya masih mencipta cerpen. Kegiatan-kegiatan yang ada kaitan cerpen dan sejenisnya selalu saya ikuti. Maka di TIM wajah saya tidak asing. Saya pun hadir saat Kongres Cerpen di kota Lampung yang acara penutupannya berwujud berpesiar pakai kapal ke gunung Krakatau. Beberapa bulan yang lalu saya juga ikut "Seminar Naskah Kuno" di Bau-bau, Sulteng, yang peserta luarnya dari Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jerman serta Rusia. Dan kini di Pekanbaru saya mendapat undangan. Untuk bisa datang saya mencari sponsor ke Dinas Pariwisata DKI dan AURI. Dari instansi yang disebut terakhir saya bisa naik Hercules. Berhubung kedatangan sebelum waktu maka terlebih dulu saya harus tidur di hotel yang tidak ditanggung panitia untuk semalam namun sehari kemudian pindah ke hotel yang jadi pilihan panitia sekaligus tempat berlangsungnya Kongres Cerpen. Peserta awal yang saya jumpai adalah dua mahasiswa UI. Yang berikutnya yaitu dua cerpenis wanita Kalimantan Timur asal Balikpapan (Santi) dan Bontang (Tri Wayuni) serta Raudal Tanjung Banua bersama isteri plus seorang anaknya laki-laki usia lima tahun dari Jogjakarta. Sehari kemudian makin ramailah hotel dengan banyak peserta yang menyusul hadir. Antara lain ada Gus tf Sakai dan Darman Munir dari Sumatra Barat. Kemudian Yetti dari Medan. Jamal T. Suryanata dan kawan-kawannya dari Kalsel. AS Kumba dan Wawan dari Sulsel. MM Bhoernomo dari Kudus. Leres Budi Santosa dari Surabaya. Juga Ratih Kumala dari Solo. Ahmad Tohari dari Purwokerto. Cerpenis kawakan Budi Darma dari Surabaya. Ada Joni Ariadinata. Ada kritikus Maman S. Mahayana dan dosen sastra UI Melani Budianta serta cerpenis Hamsad Rangkuti, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Ahmadun Y Herfanda berikut Nirwan Dewanto serta Eka Kurniawan yang semuanya dari Jakarta. Adapun cerpenis tuan rumah sendiri Taufik Ikram Jamil (Ketua DKR/Dewan Kesenian Riau) dan Fachrunnas MA Jabar paling aktip menjamu para tamu, terlebih lagi Ketua Panitia Pelaksananya sendiri, Marhalim Zaini. Dia yang pertama kali menyambut saya di areal Dewan Kesenian Pekanbaru dua hari sebelum hari H. Kondisi arealnya mirip TIM di Jakarta. Di situ ada gedung Akademi Melayu Riau yang mirip IKJ dengan para mahasiswanya berbagai jurusan seni. Cerpenis lainnya yang hadir adalah Yan Sancin dan Sunli Thomas Alexander dari Bangka. Lalu Isbedy Stiawan (Lampung) yang getol berkomunikasi dengan kawan-kawan para cerpenis dan banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu demi satu.

III.
Sambil lalu pada saat-saat luang biasanya pagi-pagi sekali saya dan kawan-kawan cerpenis tidak lupa menyempatkan diri berkunjung ke tempat-tempat menarik di sekitar Pekanbaru. Pertama-tama karena tidak begitu jauh dan di depan hotel dilewati angkot maka kami bisa langsung melihat-lihat pelabuhan Sei Kudu di tepi sungai Siak. Lebar sungai antara 100 meter. Jam tujuh pagi kapal kayu yang tertutup dengan jendela-jendela kecil datang berlabuh dari Selat Panjang. Kapal tersebut berangkat dari Selat Panjang sore menempuh pelayaran 12 jam. Dari pelabuhan Sei Kudu juga sudah siap sebuah feri menuju Tanjung Balai dan Batam. Saat berangkat atau datang kapal-kapal yang menyusuri sungai Siak tidak boleh cepat. Pelan-pelan saja sesuai aturan tidak menimbulkan gelombang. Jika dilanggar dan terjadi maka tebing-tebing pinggir sungai bisa longsor. Padahal di situ rumah-rumah penduduk berdiri. Mereka yang tinggal di situ bisa mengejar kapal, bukan saja memprotes namun juga mengamuk ramai-ramai. Sasaran kedua yang lebih sering kami kunjungi adalah kedai kopi yang tersohor di Pekanbaru. Yang kami maksudkan "Kimteng", nama tersebut berpulang kepada pemiliknya, pejoang veteran Tionghoa bernama Kim Teng yang sudah banyak jasanya di masa-masa lalu. Kim Teng sudah meninggal dunia. Sang pengganti adalah anak sulungnya. Rasa kopi Kimteng sangat yahud. Tempatnya nyaman. Di bagian depannya ada pondok bubur, lontong, mi ayam dan mi goreng serta roti bakar berselai srikaya. Pembuatan kopinya sangat unik sesuai proses yang menghasilkan kenikmatan.Begitu nyamannya rasa kopi Kimteng dengan hidangan lain-lainnya sehingga para pengunjung betah duduk berlama-lama ngobrol, berbisnis juga dan berlobi. Bukanya jam 6 pagi sampai tengah hari. Lalu tutup sebentar. Nanti jam 3 sore buka lagi sampai jam 5 dan hari Minggu tutup. Karena favorit kami besok paginya sebelum acara kongres mengulang datang untuk ngopi, bisa juga minum air tahu dan menikmati lontong, bubur ayam atau roti bakar berselai srikaya yang hangat renyah. Hadirlah di situ Sutardji Calzoum Bachri, Hamsad, Maman S. Mahayana, Gus tf Sakai, Fachrunnas MA Jabar, Ahmadun, Nyoto, Abdul Hadi, Ahmad Tohari, Sancin dan banyak lagi lainnya. Setelah dihitung-hitung ada sekitar 150 kursi. Semua penuh. Jika seseorang menghabiskan Rp20.000,- maka bisa ditaksir berapa pendapatan Kimteng dalam satu jam atau sehari kemudian sebulannya. Iklan-iklan masuk juga ke kedai Kimteng. Dari bank. Dari perusahaan minuman. Dari perusahaan LG yang menginstalasi layar tv sedinding besar hingga para pengunjung sambil ngopi bisa juga menikmati siaran National Geographic, Discovery, Animal Planet serta siaran CNN dan sejenisnya. Di situ juga para pegawai pemerintah berbondong tidak segan-segan "hadir absen", lengkap dengan seragam Korpri-nya pada jam-jam kerja tanpa ada sedikit pun bersungkan-sungkan!

IV.
Pekan Baru berpotensi besar di bidang sastra, dalam hal ini cerpen, yang sudah dikenal sejak zaman Suman HS masih hidup. Beliau lahir tahun 1904 di Bengkalis. Menurut Marhalim Zaini di koran "Riau Pos", Ahad 27 November 2005, seabad kemudian (tahun 2004) tersaring 61 penulis cerpen yang tertera di dalam buku "Satu Abad Cerpen Riau" (482 hlmn). Mengapa diselenggarakan Kongres Cerpen?— tanyanya. Karena beragam media massa cetak terutama koran selalu memuat cerpen tiap minggu, juga di majalah-majalah hiburan dan remaja. Namun waktu itu tahun 1974 pada pertemuan-pertemuan seni yang umumnya dibahas hanya novel dan puisi saja. Cerpen belum disentuh-sentuh. Hal tersebut membuat risau jika cerpen selama itu "dikalahkan" oleh topik-topik novel dan puisi melulu tidak ada lainnya lagi. Barangkali di dalam Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru ini merupakan sebuah upaya untuk menjawab kerisauan tersebut. Di situ menjadi wahana yang positip untuk mempergunjingkan sejumlah problem dan mungkin kelak Kongres Cerpen berikutnya akan menemukan "obat" penyembuh "penyakit" di dalam cerpen Indonesia, atau sekedar memperpanjang deretan kerisauan lain. Apakah dari 61 cerpenis Riau yang disebutkan masih terus bertahan hingga kini? Lagi-lagi Marhalim Zaini menulis, bahwa sejak September 2004 hingga akhir 2005, selain yang telah terbit berwujud "Pertemuan Dalam Pipa" (DKJ 2004) dan "Seikat Dongeng Tentang Wanita" (berisi antologi cerpen pilihan koran "Riau Pos", terbitan Yayasan Sagang 2004), hanya satu dua cerpen saja dari para cerpenis Riau yang muncul termuat di beberapa media massa nasional. Di media lokal seperti "Riau Pos", "Riau Mandiri", majalah "Sagang" dan majalah "Berdaulat", yang tampak muncul hanya nama-nama cerpenis yang itu-itu saja. Teramat sulit ditemukan catatan-catatan apalagi kritik tentang karya-karya (maksudnya cerpen) khususnya dari penulis Riau, tulis Marhalim Zaini menambahkan.

V.
Ada hantu? Benarkah di hotel tempat menginapnya para peserta Kongres Cerpen sering diusik hantu? Saat saya mendengar sasus tersebut sungguh tidak percaya. Itu mengada-ada saja, pikir saya. Yang membeberkan berita adalah peserta cerpenis-cerpenis wanita. Mereka berbisik dan lama-lama jadi seru, serius pula. Saya dan seorang cerpenis Bangka menginap di kamar sebelah mereka. Sorenya cerpenis-cerpenis wanita tersebut (tiga orang) meminta dengan sangat agar saya mau bertukar kamar. Saya dan Alexander ke tempat mereka dan sebaliknya mereka ke tempat saya. Demi pertemanan dan keibaan, saya manut saja. Mereka senang sekali. Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Salah seorang cerpenis wanita itu bilang bahwa pada malam sebelumnya mereka sudah menutup dan mengunci pintu kamar serapat-rapatnya. Selain kunci ada pula rantai penguat. Namun tengah malam pintu terkunci tersebut membuka dengan sendirinya. Lalu ditutup dan dikunci kembali. Tengah asyik membicarakan peristiwa yang baru terjadi, pintu yang telah terkunci rapat itu membuka kembali. Siapa membuka? Penjahat atau seseorang yang berniat tidak baikkah? Mereka merinding. Tidak tidur-tidur sampai pagi. Yang dialami cerpenis laki-laki dari Medan lain lagi. Dia waktu itu di kamarmandi. Terdengar suara ketukan pada pintu, tapi tidak ada siapa-siapa. Seorang isteri cerpenis Jogjakarta suatu malam sebelum tidur asyik merokok tenang. Bungkus rokok yang masih bersisa ditinggalkan di meja dan dia berjalan sebentar ke tempat tv. Saat kembali, dia jumpai bungkus rokoknya sudah kosong. Dia heran. Kan tadi ada? Kok lalu hilang begitu saja? Siapa ambil? Alexander, cerpenis Bangka, saat di kamarmandi menyaksikan kran air tanpa ada yang memutar, mengucur sendiri. Muka Alexander merah. Saya yakin dia ketakutan sekali. Yang hebat adalah pengalaman cerpenis wanita dari Kaltim. Sehabis magrib mandi, dia menyabun. Dengan mendadak lampu mati. Gelap. Tanpa perduli sedang telanjang dia lari keluar kamarmandi masih bersabun! Gegerlah sekelompok cerpenis walau disiarkan secara bisik-bisik dan pihak panitia pun tahu. Namun tidak ada komentar. Penanggulangannya sendiri-sendiri. Antara lain setelah acara resmi selesai, "pelariannya" ke kedai di depan hotel yang ada musik karaokenya. Di situ minum-minum untuk melupakan peristiwa sambil ngobrol menunggu lewatnya tengah malam. Katanya setan-setan akan menghilang sendiri selewat tengah malam. Sesudah itu mereka dari berkaraoke kembali ke kamar masing-masing namun tidak bisa/tidak berani tidur sampai pecah pagi. Aneh juga, besoknya kedapatan puntung-puntung tercecer di depan pintu-pintu kamar. Menurut kisah dari beberapa penduduk Pekanbaru, sekitar enam bulan yang lalu terjadi pembunuhan di hotel tersebut. Korbannya cukong dan pembunuhnya juga cukong. Korban dipotong-potong. Dimasukkan kopor dan dibawa keluar hotel. Karena darah menetes dan potongannya membuka tutup kopor, ketahuanlah si pembunuh kemudian ditangkap. Roh tersebut kata orang-orang tidak bisa pergi ke alam kelanggengan dan menetap di tempat dia dibunuh. Maka mengganggu para penghuni kamar dan sekitarnya. Kemungkinan hantu itu perokok berat. Karena itu mencuri rokok peserta Kongres Cerpen. Hotel tersebut segera berganti nama. Bekas kamarnya telah direhab. Sementara itu hantunya (tanpa diketahui banyak orang) masih bergentayangan di situ!

VI.
Tema Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekan Baru 2005 ini adalah "estetika lokal". Dibahas di hari pertama Ahad 21 November dari pagi sampai sore dan malamnya pembacaan cerpen oleh Ratih Kumala (Solo), Ira (Bangka), Isbedy Stiawan ZS (Lampung) dan Jamal (Banjarmasin). Pemakalah pertama adalah Ahmad Tohari (novelis "Ronggeng Dukuh Paruk" asal Purwokerto). Dia memberikan masukan "Lokalitas Desa", tidak lain hal-hal yang menyentuh persoalan masyarakat agraris yang sering terhimpit & tertindas oleh pihak-pihak yang tidak punya rasa tanggungjawab. Seorang petani dan isterinya sedang giat di sawah. Suaminya mengamati sang isteri saat berjalan di sepanjang pematang. Muatan lokal demikian sangat kental dihayati Ahmad Tohari namun sayangnya amat sedikit dari para cerpenis yang mau menjadikan dunia pedesaan menjadi sesuatu (katakan itu inspirasi atau ide) yang bisa dimanipulasi menjadi karya. Para cerpenis banyak yang kehilangan kepekaan pada dunia desa. Mungkin banyak yang sudah tinggal di kota dan merasa "moderen". Ini penghianatan yang kejam. Yang sebenarnya tidak begitu beda dengan itu adalah Taufik Ikram Jamil, pemakalah "Lokalitas Melayu", yang menurutnya adalah kesadaran sejarah yang memang kental ditulis di dalam karya-karya novelnya, walau diakui bahwa dia tidak hidup untuk masa lalu melainkan masa kontemporer dan yang akan datang. Selanjutnya Taufik mengemukakan sebuah persoalan awal daerah lokalnya Riau. "Traktat London" (1824) telah menghancurkan Riau. Tidak lain itulah penyebab terpisahnya tiga kawasan Melayu (Riau, Malaysia dan Singapura) yang sialnya kini Riau menjadi "kampung pinggiran" di sebuah kawasan yang bernama Indonesia. Akibat dari itu penghuni-penghuni di daerah Riau adalah para pembimbang namun tidak bisa kembali. Maka persoalan sejarah bagi Taufik menjadi perhatian khusus, juga bagi penulis Riau lainnya. Masa lampau dijadikan setting penulisan, apakah itu di dalam penciptaan puisi, cerpen atau novel.
Pemakalah lain yang berpartisipasi mengemukakan masalah-masalah lokal berturut-turut: Melani Budianta ("Estetika Lokal Dalam Perspektif Pasca Kolonial"), cerpenis sekaligus Prof. DR. Budi Darma ("Lokalitas Masyarakat Bloomington"), penyair Abdul Hadi WM ("Lokal Genius Cerpen Indonesia") dan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri ("Estetika Lokal Sebagai Mazhab"). Makna estetika lokal pada Kongres Cerpen Indonesia IV tahun 2005 bukan dalam pengertian politik atau administrasi pemerintah melainkan dalam pengertian kultural. Makna lokalitas bukannya sempit melainkan yang lebih komprehensip.

VII.
Sampailah laporan saya pada bagian penutup. Kongres Cerpen Indonesia IV Tahun 2005 di Pekan Baru ini berhasil dengan sukses. Gagasan dan harapan dari para peserta kongres seluruhnya terakomodasikan. Malah berhasil pula membentuk organisasi "Komunitas Cerpen Indonesia" yang antara lain sangat membantu para cerpenis daerah jika hendak menerbitkan karya sastranya. Komunitas juga berupaya mengangkat martabat cerpen menjadi lebih baik, lebih bermutu, lebih yahud dan berkesinambungan. Jika ada gap atau hambatan lain antara cerpenis tua dan muda juga bisa terdamaikan berkat komunitas. Begitu kata Maman S. Mahayana. "Persoalan estetika lokal," katanya, "juga menjadi sesuatu yang telah disepakati sebagai sesuatu yang penting karena merupakan bagian dari masyarakat di mana pun di tanahair ini. Jika ini diabaikan maka jelas cerpenis sendiri mengabaikan tradisi dan dirinya sendiri." Seperti yang sudah saya tuliskan pada pembuka, Hamsad Rangkuti juga menyatakan hal yang hampir sama, bahwa kongres merupakan buhul silaturahmi yang paling cocok untuk para cerpenis di Indonesia fan ini adalah momen ya paling tepat. Hal ini perlu dilanjutkan terus dan diharapkan pemrrintah daerah mau mendukung kegiatan semacam ini.Tentang nuansa lokal cerpenis Hamsad Rangkuti itu menambah: "menggunakan bahasa dan istilah lokal jangan hanya menjadi asesoris saja. Cerpenis harus jeli mengangkat tema-tema atau permasalahan-permasalahan lokalnya. Bahkan, jika ada bahasa daerah yang dipakai jangan dibuat artinya. Biarkan saja pembaca yang mencari apa arti dan maksudnya". Demikian Hamsad Rangkuti di loran "Riau Pos", Rabu, 30 November 2005.

Rahmat Ali, saat di Duri, 2/12/05.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home