My Photo
Name:
Location: Jakarta, Jakarta Selatan, Indonesia

life is for joy and make friends

Monday, October 20, 2008








Rumus

hidupku:

1 + 1 = 25


Rahmat Ali


SATU

(Setelah lulus SMP)

Angka 1 yang pertama di dalam rumus 1 + 1 = 25 adalah diriku waktu sudah pensiun sekarang ini. Ketika aku masih remaja beberapa puluh tahun yang lalu angka 1 tersebut masih kecil karena aku belum berfungsi apa-apa. Angka 1 kecil lainnya adalah adikku perempuan. Masing-masing kami setelah dewasa dan berpenghasilan lalu mendapatkan pasangannya sendiri-sendiri, angka 1 membesar. Artinya telah potensial. Punya anak-anak hingga jumlah keluarga kami semua jadi 25 orang. Makanya kubuat rumus menurut versiku tersebut. Cerita kami karena itu teramat panjangnya, seperti yang akan kupaparkan berikut ini:

Pergulatanku melawan pahitnya kehidupan makin berat saja saat aku masih angka 1 kecil itu, walau aku sudah mulai memasuki SMA A Negeri Alun-alun Bunder, depan gedung kantor walikota Malang. Tahunnya 1957. Masukku ke sekolah favorit yang amat indah tersebut cukup hanya dengan menunjukkan kertas lulus SMP di lubang loket pembayaran di bagian depan. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung saja diterima resmi tanpa embel-embel apa pun. Serba mulus dan gratis. Aku demikian gembiranya saat itu. Namun demikian apakah aku sudah lepas dari keresahan? Tak juga, rupanya masih bertumpuk-tumpuk! Kemiskinan bertubi yang telah bertahun-tahun menimpa kami sekeluarga masih parah juga. Tiap hari aku selalu memikirkan apakah di bulan depan aku punya uang untuk membayar uang sekolahku di situ? Jangan sampai aku nantidikeluarkan gara-gara tak berduit untuk bayar tagihan bulanan. Walau termasuk murah sekali namun keadaan sehari-hari di keluargaku sangat meragukan. Masih bermasadepankah aku ini? Untuk makan saja sudah demikian minimnya. Karena itu aku jarang makanpagi. Bukan karena malas atau tidak sempat, yang jelas tidak pernah ada untuk dimakan. Waktu malam pun seadanya saja. Kotaku juga selalu mengguyurkan udara yang dingin waktu malamnya. Toh aku hanya bercelana pendek dan kaos kutang saja waktu mau tidur di atas dipan bambu tanpa kasur tanpa sarung pun, apalagi selimut.

Gigit-gigitan rasa dingin yang mematuk tulang-tulangku tidak kurisaukan lagi dan alhamdulillah tetap kuat, esoknya aku bangun dengan segar, mandi lalu pergi sekolah berjalan kaki 4 kilometeran. Kawan-kawanku umumnya bersepeda. Mana mungkin orangtuaku mampu membelikan untukku? Ibuku janda, kerja sebagai guru di Sekolah Rakyat Swasta. Berapa gajinya diterima? Bisa dibayangkan!

Tingkat pendidikan SMA saat itu dipandang masyarakat sudah cukup tinggi. Apalagi SMA di Alun-alun Bunder yang dikenal keren. Gedungnya megah, bertingkat dua dan antik. Bapak direktur sekolahku amat disiplin. Para siswa umumnya anak-anak masyarakat yang berkecukupan. Tidak masalah bagi mereka di dalam membayar uang sekolah. Peralatan lainnya juga dengan mudah mereka siapkan. Tiap istirahat mereka memiliki uang saku cukup banyak untuk berjajan-jajan di warung sekolah. Pakaian mereka berganti terus tiap hari. Necis-necis. Sedangkan aku? Yang lekat di badanku ini saja satu-satunya yang kupakai tiap hari. Sepatu di kaki juga satu-satunya ini, tidak punya ganti yang lain walau sudah butut lantas jebol. Seyogyanya aku bercelana panjang kemeja rapi. Namun saat-saat itu celanapendekku harus "kupertahankan". Rambutku tetap kupelihara gondrong karena untuk bercukur tiap bulan perlu uang juga padahal harus kuhemat. Makanya kalau kawan-kawan saat istirahat di warung belakang sekolah, aku ke tepi jalan menyepi menghibur diri sampai bel masuk berikutnya. Aku betul-betul di puncak krisis ekonomi keluarga. Masih untunglah almarhum bapak meninggalkan rumah kecil untuk kami melanjutkan hidup. Jadi tidak menyewa atau ngontrak. Di habitat tersebut aku, ibuku dan emak serta adikku perempuan semampu-mampunya bertahan. Pendapatku, aku harus terus bersekolah walau amat terpepet sekali.

Emak adalah sebutan dariku dan adikku untuk ibuku tertua, karena dia itu istri almarhum bapak yang pertama. Dia menikah dengan bapak tidak menurunkan putera. Bapak terpaksa menikah lagi dengan wanita lain, dikumpulkan serumah dengan emak namun lain kamar. Dari istri baru tersebut lahirlah aku. Berikutnya lahir adikku nomor 2, perempuan, nomor 3, lelaki, kemudian yang nomor 4 perempuan. Sayang yang nomor 2 dan 3 meninggal waktu kecil. Jadi aku dan nomor 4 saja hidup terus sampai sekarang. Beberapa tahun setelah bapak meninggal, emak menyusul pula ke alam baka. Jadi di rumah kami bertiga saja sejak itu. Rumah peninggalan almarhum bapak ini tidak krasan di tangan ibu. Karena banyak hutang sana sini maka tidak ada cara lain kecuali jual rumah, setelah sisanya dibayarkan hutang lalu sisanya untuk beli rumah di pinggiran barat kota. Di sini pun tidak krasan pula di tangan ibu. Dijual lagi bagian kebunnya yang di belakang. Aku tidak kuasa mencegah. Makanya aku harus lebih serius belajar dan mengharap cepat-cepat lulus.




DUA

(Serba Prihatin terus-terusan)

Yang kuhadapi setiap hari adalah tidak habis-habisnya keserbatiadaan di rumah yang makin reyot. Soalnya sejak usia masih delapan tahun itulah aku merasakan tidak berbapak selama-lamanya. Mulai saat itu juga ibu yang janda sekaligus pencari tambahan penghasilan dan kepala rumahtangga. Hidup kami mengandalkan pensiun bapak minim sekali. Maka ibu merangkap guru di Sekolah Rakyat Swasta (kini SD). Adikku yang perempuan satu-satunya masih belum bisa berjalan. Tiap hari merangkak-rangkak saja di lantai ubin. Lalu dia menyusu ibu kalau laparnya datang.

Pada usia 8 tahun itu aku masih di Sekolah Rakyat Blakangloji yang rindang dengan dua halaman luas untuk bermain-main saat istirahat di depan dan belakang gedung. Suatu hari ibu berkirim surat kepada kepala sekolah tentang kesulitan hidup kami di rumah dan lantaran itu aku memperoleh perhatian agak istimewa dari guru. Antara lain memperoleh buku-buku tulis serta matapena serta pengurangan pembayaran uang sekolah. Saat itu menulis para murid selalu menggunakan pena yang tintanya disediakan pihak sekolah. Para muridlah yang yang mengecek pot tinta di bangku tiap pagi sebelum pelajaran dimulai. Jika kosong harus cepat kami isi tinta di gudang ramai-ramai lalu kami letakkan potnya di bangku masing-masing.

Kemiskinan kami sekeluarga masih belum juga berakhir sampai beberapa tahun ke depan. Di SMA A Alun-alun Bunder aku terpaksa banyak mencatat pelajaran. Buku-buku tidak pernah bisa kubeli. Saking amat terbatasnya buku tulis untuk mencatat maka aku harus mengumpulkan kertas-kertas kosong yang tidak terpakai lagi. Di situ aku mencatat pelajaran sepraktis mungkin.

Di sekolahku juga tidak melupakan acara-acara resmi. Inilah saat-saat gawat. Bagaimana penampilanku kalau hanya itu saja pakaianku. Ya itu sajalah pakaianku yang kukenakan. Anehnya aku toh nekat berani tampil di panggung untuk berdendang. Semangatku tetap tinggi. Kuingat judul lagunya yang kunyanyikan pada malam resepsi itu: "Torna a Sorento" yang diiringi ben sekolah!

Kawan-kawan sekolah sudah lama tahu aku giat di dalam tulis menulis dan karena majalah sekolah "DIAN" termasuk aku yang jadi pengurusnya bersama Mas Sumarsono dan Sunaryono Basuki KS (kini Profesor sastra di Singaraja, Bali). Karena dicap "seniman" aku seakan-akan "dibebaskan" dari standar umum waktu itu hingga kalau aku tidak masuk beberapa hari karena tak punya uang anehnya aku tidak ditegur guru-guru kelasku. Di saat-saat kosong aku membuat satu dua sajak atau cerpen untuk kukirimkan ke koran "Trompet Masyarakat". Di dalam keterpurukan hidup saat SMA itu syukurlah aku lulus. Beberapa guru sastraku waktu itu adalah Pak Blasius Hardjo (pengajar bahasa Kawi), Pak Adan (pengajar bahasa Perancis), Hudan Dardiri (beliau pernah juga menjadi bupati di Jombang dan beberapa tahun yang lalu telah meninggal).

Pengalamanku saat mahasiswa tidak bisa kulupakan. Yang mengesankan sekali saat perpeloncoannya. Aku perlu sepeda untuk mengikuti acara-acara padat berjubel tiap hari. Untungnya aku punya sahabat (kelak mendapat tugas bidang mekanik ke Madras, India, kemudian jadi bintara AURI, sayang meninggal saat pangkatnya Pembantu Letnan) yang meminjami sepeda seminggu. O, aku bersyukur sekali punya sahabat sejati yang sangat mengerti kehidupanku. Boleh dikata aku rugi juga tidak mampu memanfaatkan masaremajaku dengan bergaul akrab dengan kawan-kawan wanita. Bukannya gemetar. Yang sebenarnya aku takut kalau sampai lebih akrab lagi. Bagaimana kalau sewaktu-waktu jajan di restoran atau nonton? Kan harusnya yang selalu membayar yang lelaki? Jika aku tidak punya duit sepeser pun? Malunya! Malunya! Atas dasar itulah aku tidak menghendaki berpacaran lebih dulu. Biarlah masa-masa yang indah tersebut berlalu saja tanpa kusentuh.

Di civitas Universitas Airlangga filial Malang ini aku berkesempatan bertemu dengan Bapak Prof. DR. Poeebotjaroko sang maestro bahasa Kawi itu, dosen-dosenku lainnya DR Suwito Santoso (ahli sastra Jawa Kuno) dan istri yang juga pengajar linguistik, Pak Suwoyo Woyowasito, pengajar linguistik merangkap ahli kamus, Pak Djonhar Paduko Sakti serta Pak Umar Junus (kemudian mengajar di Malaysia). Bangga juga aku saat itu memperoleh suhu-suhu yang amat hebat!

Tiga tahun kemudian aku lulus dari ilmu Sastra Timur. Dengan ijazah tersebut yang harusnya aku menjadi guru & mengajar namun kupergunakan mendaftar masuk ALRI. Begitu aku diterima, jaketku satu-satunya langsung kuberikan kepada pelayan dapur kesatrian Sawahan. Aku setelah dicukur gundul segera dididik dan dilatih berat lalu dilantik menjadi KKO. Setelah banyak merambah hutan, gunung dan laut aku bertugas sebentar saja di Bumi Cilandak, Jakarta, lalu tidak sampai sebulan kemudian aku bersama pasukan dikirim bertugas ke gugusan pulau terluar. Setelah memperoleh istri dan anak di pulau sana lalu aku kembali ke posku semula di Cilandak, Jakarta. Tidak lama kemudian pindah kerja di Pemda DKI Jakarta sebagai pegawai sipil golongan III. Dari sinilah aku mendapat pensiun hingga sekarang.


Tiga

(Buah kegetiran)

Sejak resmi bertugas sehabis lulus universitas itulah untuk pertama kalinya aku mengecap gaji bulanan. Biarpun tidak banyak namun aku amat bangga dan puas. Aku mengirim uang ke ibu dan adikku dari daerah perbatasan. Di sakuku masih juga ada recehan tersisa. Aku lalu teringat waktu sekolah dulu, mana punya bekal untuk jajan tiap saat istirahat? Makanya saat sudah bergaji aku seperti "balas dendam" total kepada kesenduan hidup. Aku sudah tidak ragu lagi untuk makan di restoran. Nonton. Selain sudah memiliki pakaian dinas yang lengkap toh perlu juga aku memulai beli kaos oblong, singlet, hem dan celana untuk kugunakan saat libur. Aku belajar mengendarai mobil sampai memperoleh SIM. Betapa enaknya menyetir, aku benar-benar seperti anak desa yang baru jadi bos.

Aku ingat lagi saat masih sekolah dulu berjalan berkilo-kilometer tiap hari. Sekarang aku merasakan nikmat yang tak terkira. Betapa indahnya kekontrasan yang kurasakan. Beberapa bulan kemudian aku bertemu cewek sedang menunggu bis pulang. Aku lalu berkenalan dengannya yang setahun kemudian jadi istriku disaksikan oleh komandanku di pulau perbatasan sana. Dengan dia inilah turun keempat anak yang kelak sebagai penerusku. Kami jadi warga ibukota seselesainya tugas Dwikora. Di ibukota yang makin hiruk pikuk ini kami sekeluarga bertarung lagi melanjutkan hidup dengan segala macam usaha. Alhamdulillah punya rumah sendiri yang cukup besar dan berhalaman luas. Ada pohon-pohon buah. Menelihara ayam dan itik. Kami manfaatkan sebaik-baiknya. Kami mendapat penghasilan tambahan dari situ selain pensiun bulanan. Keempat anak-anakku sudah pula berkeluarga saat mereka sudah lulus pendidikan lumayan. Dari mereka itu menurunkan anak-anak lagi. Itulah lima cucuku yang manis-manis dan lucu-lucu.

Adikku perempuan di Malang sudah menikah dan menurun lima anak. Seorang meninggal. Dua yang sudah menikah itu masing-masing punya dua anak. Ibu sudah meninggal. Kalau berkunjung ke Malang aku hanya sebentar. Soalnya rumah terakhir yang reyot dulu sudah dijual oleh ibu dan uangnya habis untuk bayar hutang. Aku tidak kuasa untuk mencegahnya.

Beberapa tahun kemudian, kini, adikku perempuan ikut suami di rumah mertuanya. Ketika mertua meninggal pula, suaminya tersebut pewaris satu-satunya.


Empat

(Tidak lupa berkarya )

Almarhum bapak saat masih hidup sering membeli buku dan setiba di rumah, malam-malam jelang tidur dibacakan untukku. Maklum di usia 4 tahun aku belum masuk sekolah. Dengan kebiasaan itu aku jadi tahu beberapa dongeng. Bapak memiliki pula bundelan majalah serta buku-buku sejarah yang diterbitkan sebelum Peeang Dunia II. Selain itu di bukutulis besar bapak juga membuat karya tulis yang mungkin untuk kubaca sendiri kalau aku sudah besar. Sayang saat mengungsi warisan literer tersebut hilang tidak tahu ke mana. Aku masih samar-samar ingat bahwa di antara yang hilang itu bundel majalah "Pandji Poestaka".

Entah bagaimana asal-usulnya setelah aku duduk di bangku SMA A Alun-alun Bunder aku kok lalu tergiur untuk menulis. Mungkin karena aku sering meminjam buku-buku di perpustakaan Jl. Arjuno. Petugasnya bernama Pak Pamuji yang ramah dan amat hafal nama-nama buku. Sayang buku roman "Salah Asuhan", "Siti Burbaya" dan "Tenggelamnya kapal Van der Wijck" selalu saja kosong karena keburu dipinjam orang-orang lain yang berminat. Saat itu aku beruntug membaca buku-buku karya Pramudya Ananta Toer seperti "Perburuan", "Cerita dari Blora" dan "Mereka yang dilumpuhkan". Saking seringnya membaca karya-karya tersebut di majalah sekolah "DIAN" yang stensilan saya juga berkesempatan menulis sekilas tentang Pramudya tersebut.

Aku sendiri sejak itu juga mulai menulis puisi serta pendek yang dimuat di koran lokal "Trompet Masyarakat" dengan pengasuh kolom sastranya Mas Supriadi Tomodihardjo, majalah "Terang Bulan" (lalu berganti nama jadi "Tanah Air") serta "Gelora" (ilustratornya Teguh Santosa), kedua majalah ini terbitan Surabaya. Aku juga menulis di majalah-majalah Jakarta dan Bandung. Dari honor menulis saat siswa dan mahasiswa itulah aku bisa jajan dan mentraktir sahabat-sahabat dekat seperti Buddhy Setyoadji dan Teguh Sentosa (keduanya sudah almarhum). Menulisku terus saat aku sudah menjadi KKO, juga tugas belajar di US Army Fort Manmouth (tentu dengan mencari waktu yang sedang luang tidak mengganggu jam dinas, kemudian kulanjutkan lagi saat sudah pindah kerja jadi pegawai Pemda DKI Jakarta di mana aku sempat dikirim ke negeri-negeri Eropa untuk studi sejarah bahari serta kepariwisataan. Kini saat pensiun aku terus menulis cerpen dan novel-novel.


Lima

(Mudik 2008)

Waktu-waktu sebelumnya kalau aku ke Malang hanya beberapa jam saja. Yang penting sudah nyekar dan menemui adik. Setelah itu kembali lagi ke Jakarta. Kemarin Idul Fitri 2008 kubikin lain dari yang lain. Atas dasar inisiatip anak-anak perempuanku yang nomor 2 dan 3 kami ramai-ramai carter bis. Anak lelakiku sulung datang dari pulau Batam berikut istri dan anak tunggalnya. Ibu mertuanya yang di Bogor diajak juga di dalam bis. Maka kami pun pada waktu habis magrib hari pertama Idul Fitri berangkat meninggalkan Jakarta menuju Malang lewat pantura, menyusur terus melewati Surabaya dan Porong, akhirnya setelah menerobos Pandaan sampailah di Malang. Kami mengambil penginapan di Jl. Welirang. Esoknya menemi adikku perempuan untuk sama-sama berekreasi ke gunung Bromo setelah nyekar ke makam bapak, emak (di TPU Kasin) dan makam ibu di Genitri (Pisang Candi). Saat menuju Bromo itu anak-anak adikku berikut cucu-cucunya turut juga. Mereka adalah Dian, Andi, Faiz dengan 2 anak serta Lila, suaminya serta 2 anaknya yang masih kecil-kecil balita. Dengan 2 sopir yang mengendarai bis maka jumlah kami semuanya malah jadi 27 orang. Perinciannya demikian. Aku dan istri ada 2. Anak 4 orang. Anak sulung punya anak 1. Yang nomor 2 punya anak 1. Anak ke 3 punya 2 anak. No 4 punya anak 1. Menantu 4 tinggal 2 (karena 1 meninggal. 1 lagi cerai). Besan yang ikut wisata ke Malang dan Bromo 1 orang. Jadi dari pihakku ada 13 orang. Adikku perempuan punya anak 5 meninggal 1 jadi yang ada 4 orang. Yang 2 lelaki masih lajang. Yang 2 perempuan masing-masing menurunkan 2 anak hingga jumlah mereka 6 orang. Keseluruhannya 10 orang. Iparku lelaki ikut dan 2 sopir yang mengoperasikan bis selama 4 hari 4 malam. Sehingga tepatlah rumus yang kubuat: untuk keluargaku semua: rumusnya 1 + 1 = 25.

Aku trenyuh juga menyaksikan sanakfamiliku yang begitu gembira. Mereka amat senang bisa begurauan di dalam bis sambil menikmati suasana yang serba menyenangkan. Mereka tidak usah berdesak-desak seperti di bis umum atau keretaapi. Tidak kegerahan. Tidak mengalami kelaparan dan kehausan.

Makanya kami dari Jakarta menyewa bis khusus. Kursi-kursinya amat lapang. Tidak bakalan berdesak-desak atau terhimpit-himpit karena didesak calon atau penumpang lain yang bernafsu untuk menguasai kursi. Ini wujud kami bersilaturahmi pada hari Idul Fitri setelah di Jakarta solat Id dulu kemudian malamnya berangkat. Ini merupakan kenikmatan tersendiri di dalam hidup.

Memang segala sudah kusediakan sebaik-baiknya. Makanan dan minuman sejak dari Jakarta sudah selengkap mungkin untuk menunjang perjalanan, ziarah ke makam dan berpiknik ke Bromo. Minuman ringan dan kuwe-kuwe cukup. Saat nyekar ke makam aku berkesempatan menjelaskan kepada para cucu dan menantu bahwa yang itu makam buyut lelaki. Yang sebelahnya buyut emak (artinya istri bapakku yang pertama yang selalu kunamai "emak". Yang terpisah di makam Genitri atau Pisang Candi adalah makam buyut ibu (artinya ibunda kandungku).

Di saat menuju ke gunung Bromo bis lewat Alun-alun kotaku. Ke anak cucu kuceritakan kalau dulu waktu anak-anak sering bermain bola karet di situ dengan kawan-kawan sekampung. Di saat melewati Alun-alun Bunder kutunjukkan kepada mereka gedung sekolahku SMA A yang bentuknya tidak berubah.

Adikku perempuan dengan anak-anak serta para cucunya belum seenak kami sekeluarga di ibukota. Mereka tersebut masih sangat terbatas secara ekonomi. Yang digeluti tidak lepas dari soal sembako sehari-hari. Jarang sekali berkesempatan rekreasi. Apalagi pergi tamasya ke tempat-tempat indah kemudian dengan menginap. Makanya pada Idul Fitri tersebut kudatangi mereka. kubawakan pakaian untuk para cucu dab keponakan-keponakan. Kuajaklah naik bis. Kuajak untuk merasakan menginap di hotel yang menghadap persis ke gunung Bromo dan laut pasir di bawahnya. Kuajak makan sekeluarga sepuas-puasnya yang semuanya dengan kami sampai berjumlah 25 orang, ditambah 2 sopir jadi 27. Kubelikan mereka oleh-oleh untuk pulang ke rumah masing-masing yang terpencar. Aku sadari bahwa keperdulianku kepada mereka belum semaksimal yang mereka dambakan namun demikian aku yakin mereka sedikit terobat dari kejenuhan-kejenuhan yang selama ini menohok. Minimal tersenyumlah mereka itu. Seperti pada foto-foto yang kami jepretkan. Mana ada yang sedih lagi seperti hari-hari sebelumnya? Kuharap begitulah seterusnya!


Jakarta 16 Oktober 2008.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home