PERJALANAN (KESAN)

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Jakarta Selatan, Indonesia

life is for joy and make friends

Monday, March 31, 2008

KONDANGAN BEREROT
KE JOGJAKARTA

Keponakan saya di Jogja mantu. Dia mengirim undangan agar kami datang. Waktu masih sebulan. Segeralah kami menjahitkan pakaian Melayu untuk menunjukkan identitas kami seanak cucu. Tepat seminggu sebelum hari H selesai. Tiga anak saya masih kerja dulu dan baru bisa berangkat sehari sebelum hari ijab kabul pengantin. Karena saya termasuk yang senior maka saya dengan isteri berangkat dulu pakai bis dari Lebakbulus. Sampai Jogja pas saat malam pengajian. Paginya akad nikah. Pada malam resepsinya tanggal 20 Maret anak-anak dan cucu-cucu saya menyusul bawa mobil sendiri. Senanglah kami memamerkan "seragam Melayu Riau" di resepsi, berbaur dengan tamu-tamu lainnya di gedung pertemuan UPN. Inilah gambar-gambar kami. Yang pertama bergambar dengan Bang KA Idris bersama isterinya, yang kedua adalah kami beranakcucu.

BERHUJAN-HUJAN

DI CANDI BOROBUDUR

Saya dengan isteri memang ingin memperkenalkan beberapa warisan budaya leluhur bangsa kepada generasi muda, kami mulai laksanakan pertama-tama kepada anak cucu terlebih dulu. Oleh karena itu waktu kami ke Jogja mereka kami ajak ke candi Borobudur di Magelang pakai mobil.


Setelah solat Jum'at, 19 Maret 2008 yang baru lalu itu, kami sekeluarga begitu selesai parkir mobil tidak jauh dari gerbang candi kami segera membeli karcis masuk. Mendung sudah lama menggantung. Begitu sudah masuk ke dalam komplek kami langsung menyewa payung. Lalu di bawah hujan yang lebat kami mulai menaiki tangga-tangga batu. Sesuai dengan usia tua aku harus pelan-pelan mengatur langkah. Tidak begitu halnya dengan cucu-cucuku. Dari yang masih usia tujuh sampai dengan yang duabelas mereka itu enak saja melangkah, tidak perduli terpeleset. Sebaliknya aku harus makin hati-hati. Aku selalu di belakang isteri yang dengkulnya tidak begitu kuat. Dengan di belakangnya berarti aku berjaga-jaga. Andai dia terpeleset atau jatuh maka aku siap menadahnya. Syukur alhamdulillah kami semua sampai di stupa paling puncak. Cucu-cucuku bergantian memasukkan tangannya ke dalam lubang kurungan stupa yang di bawah puncak. Kata orang jika jangkauan mencapai kepala patung bisa tercapailah yang dicita-citakan. Mudah-mudahan saja. Aku merangkap juga sebagai juru penerang. Inilah gambar-gambar kami sebagai pasukan berpayung.

Sunday, March 23, 2008

MALIOBORO AWAL TAHUN 2008

Ketika aku berkunjung lagi ke Jogjakarta aku benar-benar kagum menyaksikan banyaknya perubahan di kota kelahiran bundaku itu. Jogja tidak saja mempertahankan segi-segi tradisionalnya namun juga cepatnya menyesuaikan dengan zaman teknologi masakini abad ke 21. Buktinya dia tidak kalah dengan kota-kota besar di dunia. Cara makan lesehan tidak ada di tempat lain di dunia kecuali yang khas kota gudeg. Demikian juga menikmati nasi pecel di pincuk daun pisang. Tempatnya bukan di dalam ruangan restoran namun di udara terbuka, tepatnya di trotoar terbuka namun amat ramai penuh sesak manusia di depan pasar Bringharjo. Kita tidak malu-malu, ini polos dan sah bin halal. Rasanya wah bukan saja mak nyus tapi juga sedap, melahap kuluban bayam, daun singkong serta kembang turi rebusan, tidak begitu pedas. Bukan kita-kita penduduk negeri yang ngicipi sampai "tanduk" dua tiga kali, turis dari Negeri Belanda pun tidak segan-segan ikut duduk di bangku plastik kecil. Sepincuk Rp.4000,- okelah dengan senyum-senyum. Andongnya yang berkeliling di sekitar pusat kota adalah atraksi tersendiri. Kalau soal pengamen itu biasa. Yang pelukis ikut-ikut menawarkan jasa mereka untuk melukis kilat kepada penikmat-penikmat lesehan adalah hal yang mengasyikkan. Inilah gambarku setelah disketsa cepat-cepat. Berikutnya keempat cucuku ikut-ikut juga disketsa. Istilahnya karikatur. Ongkos per lukisan Rp25000 juga oke untuk mengapresiasi sang seniman pengamen. Maju terus Jogjakarta, I love you, Je t'aime beaucoup!