PERJALANAN (KESAN)

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Jakarta Selatan, Indonesia

life is for joy and make friends

Friday, January 12, 2007

MENDAKI
EMPAT GUNUNG

laporan
Rahmat Ali


I. Kami sekeluarga sekedar ingin berekreasi. Kami langsung saja berangkat meninggalkan Jakarta menuju ke sasaran kota Malang di Jawa Timur. Kendaraan yang pergunakan adalah Toyota Inova. Di dalamnya selain mampu menampung saya, isteri, dua anak dan dua cucu juga makanan dan minuman sekedarnya, pakaian ganti, bantal, selimut plus obat-obatan seperlunya. Kami isi bensin sepenuhnya. Hari Rabu malam sehabis Isya 27 Desember 2006 bergerak lewat tol Cipularang. Dalam waktu singkat sampai Tasikmalaya terlampaui, diteruskan lagi Ciamis, terus bergerak, isi bensin lagi penuh-penuh dan tiba di Bantul Kamis 28 Desember jam 10 siang. Bertamu ke rumah saudara beberapa menit lalu mencari penginapan di Jogya. Setelah habis lohor kami tetirah ke makam Panembahan Senopati di Kota Gede dengan dipandu saudara. Tanpa direncanakan sebelumnya saudara kami itu menyarankan untuk menyaksikan gunung Merapi yang mendekati ketinggian 2900 m di atas permukaan laut. Kami melewati Kaliurang dan masih terus menanjak dalam keadaan hujan plus berkabut tebal. Kendaraan yang tidak ada lagi kecuali kami yang penuh rasa khawatir. Dag-dig-dug di dada tak terbilang telah berapa kali. Begitu menurun tajam dan licin akhirnya kami sampai di halaman luas. Tampak tiga rumah gaya desa. Rupanya itulah rumah mBah Marijan. Orang sepuh yang kelahiran 1927 ini bersarung, berkopyah dan rambut putih. Dia menyambut kami dengan ramah. Di dalam ruangan tamu tersedia banyak kursi dan bangku-bangku. Pada dinding terpasang raja-raja Mataram, juga replika beberapa benda pusaka kraton. Saudara yang mengantar kami sudah akrab dengan mBah Marijan. Jadi dialah yang menjelaskan siapa kami dan apa pula maksud kedatangan kami. Sayangnya waktu itu cuaca hujan deras dan gelap sekali di luar. Kami tidak bisa menyaksikan bagaimana sosok puncak gunung Merapi. Kata saudara kami itu dulu waktu bergejolaknya lahar dari puncak, arahnya tepat ke bagian belakang rumah mBah Marijan. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana kalau kumpulan api menerjang rumahnya yang rentan terbakar hangus ditelan. Namun begitu mendekati beberapa puluh meter, membeloklah lahar selanang-selonong ke samping, menerjang pohon-pohon dan segala macam yang merintang. Rumah tetap selamat, utuh tak tersentuh bubur api yang mengerikan. Kami kagum kepada mBah Marijan yang begitu teguh penuh keyakinan. Mencuatlah namanya di mediamassa. Tamu-tamu penting ikut datang ke rumahnya, ingin tahu lebih akrab bagaimana sosok mBah Marijan. Sejak lahirnya dia tinggal dekat gunung yang berbahaya itu, sampai sekarang bersama seluruh keluarganya tercinta. Kami pun sempat bertemu dengan isterinya yang sama-sama tua suami, beruban, dia tersenyum ramah dan tubuhnya tampak segar saja. Sayang sekali mBah Marijan menolak untuk berpotret bersama kami. Mungkin karena saat itu malam Jum’at maka dia menolak dengan halus. Sebagai gantinya kami berpotret dengan latarbelakang lukisan profil dirinya di dinding Begitu selesai solat magrib di mesjid yang lokasinya di samping rumah kami pamit pulang.


II. Solat Jum’at sebelum meninggalkan Jogya. Karena dari jalan besar sudah tampak maka kami mampir Prambanan. Kami jadi tahu betapa cukup parahnya candi Loro Jonggrang tersebut digoyang-goyang gempa yang dahsyat itu. Sasaran perjalanan kami selanjutnya adalah Magetan. Sayangnya kami salah belok lewat Tawanmangu. Berarti kami mendaki dan menikungi gunung Lawu. Kabut amat tebalnya. Jurang menganga di samping kanan dan kiri. Saat meluncur turun, petunjuk kapasitas bensin pada tanda merah. Alias bensin pada puncak kritis-kritisnya. Mengapa tadi tidak diisi penuh-penuh? Terpaksa mesin dimatikan. Kendaraan meluncur saja mengandalkan jalanan
menurun dan sedikit mengerem. Jangan sampai tergelincir dan terjun jurang. Oh. Karet rem gosong. Bau menyengat. Kami pasrah dan terus memanjatkan doa. Anak cucu ikut berdoa serius sekali. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Sampai Magetan kami pikir sudah terbebas dari mendaki gunung. Tidak tahunya begitu selesai menikmati “sego pecel” yang piringnya “takir” (daun pisang) yang lezat gurih di warung kecil di Madiun, kami melewati Ngantang dan Pujon yang masih merupakan rangkaian jalanan menanjak dan berliku-liku lagi di kawasan gunung Panderman. Tidak beda dengan kondisi mencekam di gunung Merapi tempat mBah Marijan, dilanjutkan ke Tawangmangu dan Sarangan di gunung keras.


III. Kami menginap di rumah kosong milik seorang bos di Jakarta. Paginya kami nyekar ke makam kedua orangtua, bersilaturahmi ke rumah kawan lama, tidak lupa pula ke Pasar ut,
Besar untuk menikmati soto serta rawon di warung Haji Ridwan yang sudah amat terkenal sejak puluhan tahun yang lalu. Keesokan harinya setelah solat Idul Adha berkorban tiga ekor kambing, kami menuju kawah Bromo dan gunung Batok. Rupanya saat itulah kondisi cuaca sedang buruk-buruknya. Awan kumulus yang ganas sedang mengamuk dan berkelanjutan menjelang pergantian tahun. Tidak mengherankan pesawat AdamAir hilang, kapal pengangkut Senopati Nusantara tenggelam dan angin beliung masih terus merajalela. Di dalam petualangan kami masih tetap menggunakan kendaraan Toyota Kijang Inova juga tidak kunjung henti didera angin ribut, kabut amat tebal serta hujan. Sampai di jalanan puncak tertinggi Pananjakan kami masih harus menurun ke arah lokasi hotel di seberang laut pasir. Pemilik jip menawarkan jasa sebagai pemandu. Ongkosnya Rp.500 ribu. Tentu saja kami pilih bergerak menurun tanpa dia. Resiko tanggung sendiri, kata si pemandu menakut-nakuti. Jalanan menurun selain lebih curam dari Merapi, Lawu dan Panderman, juga berbatu-batu tajam, licin, kabut yang tebalnya amat menggila, angin menderu-deru menggigilkan, yang terdahsyat lagi adalah banyaknya pohon cemara bertumbangan seakar-akarnya. Namun alhamdulillah berkat doa kami segala rintangan teratasi. Sukses menuruni jalanan terjal amat berbahaya dengan jurang-jurangnya, cukup mulus melintasi padang pasir di sekitar gunung Batok seperti tempurung terbalik yang indah, kami pun amat menikmati musik dan kembang api menjelang tahun baru 2007. Lalu keesokan harinya tanggal 1 Januari dengan berkuda dan berpakaian supertebal kami mendaki tangga menuju kawah gunung Bromo yang berkabut dan berbau belerang. Melalui laporan perjalanan ini kami ucapkan selamat tahun baru kepada para pembaca dan handai taulan, semoga lebih sukses!
Jakarta 4 Januari 2007.

BEREROT MELANCONG KE SINGAPURA / Rahmat Ali

Semua 12 orang? Ya! Kok banyak amat? Begitulah. Saya dan isteri, 2. Freddy, anak sulung saya, istrinya dan cucu lelaki usia 3 tahun, 3. Diah, anak kedua dan anaknya perempuan, Nabila, 9 tahun, 2, Ulil anak ketiga, suami, dua anak Fatih 6 yahun serta Sheva, 5 tahun, 4. Ditambah Intan, cucu saya 7 tahun, 1. Pas jumlah 12, Pemeriksaan imigrasi yang ketat selesai. Sah sudah kami sebagai pelancong di Singapura. Perlu seekonomis mungkin. Harus mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya. Maka jauh hari kami pesan penginapan “bb” (bed & breakfast) di Kampung Bugis. Mungkin karena termasuk murah lagi pula tamu-tamu membludak, dua kamar yang telah dijanjikan kepada kami ternyata tinggal satu saja bisa dipenuhi. Curang juga. Kami tak mau berbantah. Terima saja. Pihak penginapan memberikan kompensasi 2 kasur tambahan, Kami tidur lintang pukang. Yang penting bisa istirahat. Di kamar tidak ada kamarmandi dan toilet. Antri di kamarmandi dan toilet umum untuk para penghuni penginapan. Sarapan roti bakar sendiri, ada mentega dan selai, minumnya susu atau teh dengan atau tanpa gula. Selesai sarapan gelas dicuci sendiri-sendiri. Lingkungan di dalam penginapan dijaga kebersihannya. Penginapan menyediakan internet gratis dari jam 08.00 pagi sampai jam 24.00. Dilarang bawa makanan dan minuman. Saya berkenalan dengan tamu pria dari Filipina, Jepang dan Swis di lorong kecil tempat internet ini (tersedia 5 komputer, pemakai harus tahu diri tidak lama-lama lantaran antri). Untuk makansiang dan makanmalam tanggung sendiri. Di luar gedung penginapan, di kanan-kiri, berderet kantin-kantin dengan aneka hidangan yang relatif murah. Penginapan kami di wilayah strategis. Aksesnya mudah. Dengan bis atau MRT (Mass Rapid Transport, kereta listrik Singapura). Bis dan MRT bersih, rapi, menyenangkan. Di dalam amat tertib. Tidak ada pegangan tangan tergantung yang rusak atau sudah hilang seperti di kereta Jabodetabek. Di dalam MRT tidak ada pengasong, pengemis atau pengamen apalagi penumpang-penumpang di atap gerbong. Masuk ke kereta pakai tiket elektronik, akan tertangkap polisi jika tanpa tiket. Dengan bis dan MRT bisa ke mana-mana, termasuk ke pusat keramaian Orchard Road yang trotoarnya 5 meter lebarnya. Pohon-pohon rindang dihias aneka ragam lampu warna-warni. Lantaran penghijauan dan konservasi alam amat diutamakan maka banyak burung turun serta bersijingkat-sijingkat bebas tanpa pernah diganggu atau dijerat orang. Ada bangau di lapangan-lapangan rumput. Di tengah-tengah pedestrian sering tampak burung jalak berparuh kuning. Jika dibanding Jakarta, jalak yang sudah langka hanya ada di dalam sangkar di Pasar Burung. Pramuka dan Jl,.Barito. Daya tarik lainnya, di pusat-pusat keramaian seperti pertokoan banyak dihias air mancur indah menyejukkan. Cucu-cucu saya gembira sekali. Di situ pada detik-detik tertentu memuncrat air ke atas bergantian dari lubang yang satu lalu giliran dari lubang lainnya. Anak-anak memberanikan diri agar tersiram air dari atas, kebasahan namun bersorak-sorak kegirangan.Biar bekal terbatas, yang namanya ibu-ibu tidak mau lepas dari berbelanja. Ada saja yang dibeli. Selain keliling Orchard Road. kami juga ke pusat perbelanjaan Mustafa yang didominasi taipan-taipan India. Hampir segala keperluan tersedia di situ, lokasinya bertingkat-tingkat. Ada escalator. Mainan anak-anak jadi sasaran para cucu. Aneka renik-renik yang dibeli memerlukan kantong besar. untuk menampung belanjaan. Anak lelaki sulung dan menantu saya lelaki jadi tukang panggul. Dua anak saya perempuan juga penenteng kantong besar yang tidak ringan. Saya dan isteri bertugas membimbing para cucu.Untuk kenang-kenangan kami tidak lupa potret-memortet. Pakai kamera video juga. Kami bergembira di Pulo Sentosa. Berpotret lagi dengan latarbelakang patung singa raksasa. Kami juga bergembira di depan Kuil Hindu yang penuh patung dewa amat indah. Dua malam kami menginap, setelah itu bererot pulang naik ferry menuju Pulau Batam, kemudian terbang ke Jakarta.


Jakarta 17 November 2006