My Photo
Name:
Location: Jakarta, Jakarta Selatan, Indonesia

life is for joy and make friends

Wednesday, May 31, 2006

Kompas, 08/12/75, hal.1

KISAH MENCETAK KEMBALI PRASASTI PURNAWARMAN
Oleh: Rahmat Ali

RAJA Purnawarman dari Tarumanegara pada abad ke 5 sesudah Masehi meninggalkan beberapa prasasti batu. Berdasarkan penemuan-penemuan itu, para ahli mendpat gambaran kasar bahwa kekuasaan raja tersebut membentang antar sungai Citarum sampai Cisadane. Tetapi berhubung penemuan lebih baru pada tahun 1954 di desa Lebak, yang berada di luar kawasan yang atelah disebutkan lebih dulu oleh para ahli, maka prasasti yang terus di lacak oleh para petugas purbakala menjadi makin menarik.

Seperti prasasti Purnawarman lainnya, prsasti Rupun berada di tengah sungai. Batunya selain besar dan berat juga melekat pada seluruh dasar sungai, sehingga sangat tidak mungkin diangkat dan di pindahkan ke museum. Andaikata bisa, pasti membutuhkan peralatan dan perlengkapan serba raksasa.

Oleh karena pihak museum tetap ingin agar batu prasasti yang berharga ini bisa dilihat pula oleh para pengunjung kota, maka perlulah kiranya dibuatkan tiruannya. Caranya dengan mencetakkembali. Berikut ini kami paparkan kisan perjalanan menuju tempat prasasti tersebut, yang banyak mengerahkan tenaga, yang banyak mencucurkan keringat, tetapi akhirnya berhasil juga menyelesaikan tugas.

Perjalanan Berat

Sasaran yang kami tuju adalah desa Lebak, kecamatan Munjul, suatu daerah paedalaman selatan kota Pandeglang. Jika diukur jaraknya dari pantai Samodra Indonesia, tinggal k.l. 22 Km lagi. Jadi sudah tidak begitu jauh.

Jalanan aspalnya hanya sampai Pasir Tenjo. Dengan perantaraan lurah setempat bisa dikerahkan 8 orang membantu memikulkan beban masing-masing 10 Kg. Mereka hanya bisa berjalan sejauh 9 Km, yaitu sampai di kantor kecamatan desa Munjul. Dari sini, perjalanan masih 7 Km lagi ke tempat yang tidak jauh dari prasasti. Para pemikul ganti. Orang-orang yang segar dari Munjul. Berati ongkos baru pula. Di pos terakhir ini kami menumpuk bahan=bahan dan perbekalan.

Letak prasasti yang tepat adalah di tengah-tengah sungai Cidangiang. Kalau diterjemahkan berati sungai Nenekmoyang, atau Leluhur atau Dewa. Jadi sungai yang mempunyai arti suci. Jalanannya yang setapak sudah hampir tidak kelihatan lagi saking lebatnya ilalang setinggi manusia. Makin lama makin menurun dan akhirnya sampailah di sungai Dewa itu.

Di situ kami mencetak Gips yang dicampurkan semen sehingga seperti bubut menjadi dua kali berat semula, setelah menjadi alat cetak kering. Tukang pikul harus ditambah. Biar begitu, masing-masing pemikul toh masih harus mendapat bagian seberat 60 Kg. Kami harus menempuh rute semua. Sampai di Munjul ganti orang lagi. Yang belakangan ini agajk susah juga. Mereka menggerutu bahkan marah dan ingin meninggalkan tugas saja maunya. Kalau tidak pandai-pandai mengambil hati, kalau tidak sering-sering mengajak mereka istirahat dulu sambil minum-minum dan merokok, bisa berabe juga. Kami mengeri betapa berat yang harus mereka angkat dan pikul dengan bahunya, tangannya, juga kaki-kakinya yang sudah loyo itu. Untuk bujukan-bujukan itu terpaksa kami harus mengeluarkan biaya lebih banyak. Terutama rokok. Sudah tidak terhitung berapa kali berhenti di tengah jalan. Alasan hujan dan jalanan licin memang benar. Tapi akhirnya sampai juga kami di Pasir Tenjo tempat kami semula menitipkan kendaraan. Sebuah jib. Tetapi karena beratnya beban, maka sampai di Bandung, kampas kapling dan temnya jebol. Dua pernya harus diganti dengan yang baru. Tapi pekerjaan sukses.

Cara mencetak

Cara membuta cetakan cukup menarik untuk diketahui oleh umum.
Dari orientasi pendahuluan, segeralah diketahui berapa besar ukuran prasasti yang berada di tengah-tengah sungai Nenekmoyang itu. Untuk ukuran 2m x 1 1/2m dibututuhkan bubuk gips seberat 300 Kg semen sebagai pencampur 1/10-nya gips, berati 1 ½ sak. Juga kawat ukuran 5 mm sepanjang 25 m ditambah kawat kandang ayum seukuran batu prasasti. Kawat-kawan ini dipakai nantinya seperti fungsi beton bangunan. Tidak boleh dilupakan pula vaselin satu kaleng (= 1 Kg).

Tahap selanjutnya adalah membersihkan batu prasasti dengan cermat. Disikat. Seluruh bagian prasasti, huruf-huruf dan gambar-gambar atau lekak-lekuk bahkan sampai ke pori-pori batu, dipoles dengan vaselin. Jangan ada yang sampai tidak kena poles. Maksudnya, kalau semua sudah kena polesan, maka tidak akan ada yang lengket dengan gips kalau sudah kering. Jadi mudah dicopot kembali.

Keadaan gips dan semen yang sudah jadi bubur diusahakan tidak begitu cepat mengering. Kalau sudah menempel pada batu prasasti, segera ditutup dengan kertas atau plastik. Agar kalau hujan turun, tidak kebasahan. Yang menjadi problim ketika sungai Cidangiang, adalah makin meningkatnya permukaan air setelah turun hujan. Terpaksa penyemenan ditunda. Menunggu cuaca normal kembali.

Proses pengeringan gips berlangsung sekitar delapan. Penyemenan tidak bisa secara totol;, tetapi sebagian demi sebagian. Misalnya: bagian kiri-atas merupakan satu bagian. Kiri-bawah-tengah satu bagian lagi, demikian pula kiri paling bawah, Menyusul tengah-atas, sentral, dan tengah-bawah. Begitu seterusnya, sampai seluruhnya tertutup gips.Jangan pula dilupakan mengikatnya dengan tali.

Setelah dicopot, sebagian demi sebagian dibungkus dengan kertas sampai tebal hingga tidak pecah atau retak kalau terbentur.

Dengan demikian kita sudah memiliki pencetak batu prasasti lengkap dengan huru-hurufnya. Kita tinggal menyerahkan kepada pemborong posisi di sebelah mana batu prasasti tiruan nantinya diletakkan di dalam ruangan museum. Dan kalau dilihat sepintas, tampak lebih bagus dari prasasti aslinya, 100% persis. Mungkin yang asli di tengah-tengah sungai, demikian juga masih berada di pedalaman Bogor, bisa rusak, bahakan dikuwatirkan dihanyutkan banjir besar, atau dirusak tangan-tangan jahil.Jelaslah sudah bahwa pembuatan duplikat mempunyai nilai-nilai positif, baik untukmenolong mereka yang tidak sempat pergi melihat ke tempat aslinya yang jauh dan sukar, maupun untuk meringankan beban para peneliti. ***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home