My Photo
Name:
Location: Jakarta, Jakarta Selatan, Indonesia

life is for joy and make friends

Saturday, August 12, 2006

SASTRA SEJARAH LEBIH INDAH

PENAMPILANNYA sederhana dan terkesan tidak memedulikan fesyen. Namun, ia cukup terlihat trendi. Sebab di usianya yang sudah senja, 67 tahun, ia ma­sih gemar memakai topi dan sepatu sport. Ia Rahmat Ali penulis yang pada juni lalu baru saja menerbitkan novel terbaru­nya, Gipsi Laut.
Ia berpendapat usia tua bukanlah ha­langan untuk berkreasi. Malah lelaki yang telah mempunyai lima cucu itu tetap optimistis karyanya akan mampu bersaing di pasaran dengan karya-karya dari para penulis muda.
Terbukti, dalam novel terbarunva, Rah­mat cukup terampil mengangkat tema yang jarang dibidik para penulis lain, yaitu kehidupan di seputar laut. Tengok­lah petikan dari bagian kedua dalam no­velnya itu.
“Maafkan aku, Long, bukannva aku bermaksud merendahkan martabatmu. Coba aku dulu menitis pada kalangan yang sekolahan, katakan pedagang atau pegawai negeri, mungkin lain. Ini aku di kalangan puak Orang Laut. Tiap hari di biduk bercadik. Miskin dan terbelakang tak tersentuh pendidikan. Jika dibanding dengan perompak-perompak laut yang bersenjata tajam dan bersenapan, berpes­tol pula, tentunya kami puak Orang Laut rentan diserang dan dimusnahkan tanpa perIindungan. Tapi para datuk yang baik lantaran sesajen kami, selalu jadi pelin­dung utama sehari-hari."
Dalam kisah tersebut, meskipun tampak sederhana, terlihat bagaimana Rah­mat menguasai tradisi yang berdiri tegak di tengah kehidupan orang-orang laut. Dengan kekuatan yang sederhana, sesajen, bagaimana orang-orang laut digam­barkan mampu membangun komunikasi dengan kekuatan-kekuatan spiritual, sekaligus mampu membangun jaringan politiknya dengan para penguasa. Lebih jauh, bisa kita simak dalam lanjutan deskripsi itu.
“Kami aman-aman saja di perairan pe­dalaman republik, di perairan kepulauan, di laut teritorial, di zona tambahan, di zo­na ekonomi eksklusif, di landas kontinen, di laut lepas, serta di kawasan dasar laut internasional luas wilayah kedaulatan re­publik, atau di luar perbatasannya yang sampai jauh. Istilah-istilah kesepakatan antarnegara tersebut sejak leluhur kami dulu sampai sekarang tak kami kenal tak mau kami kenal, karena kami mengang­gap seluruh laut di planet ini bebas seperti milik kami sendiri."
Dalam pembicaraan bersama Media In­donesia, Rahmat mengaku bahwa menulis sastra berlatar sejarah akan lebih berbobot. Seperti dalam novel Gipsi Laut, ia susah payah menuliskan kisah perjuangan orang-orang laut di Riau pada kurun 1967-1968.
Pada novel-novel sebelumnya, Rahmat pun sudah membuktikan sastra berlatar sejarah tidak kalah dengan sastra pop. Sang Gubernur jenderal (1976), Ratu Kalinyamat (1978), Para Pengawal Sultan Babullah (1989), dan Fatahillah, Pahlawan Kota Jakarta (1982).
Itulah berkah yang didapat Rahmat se­bagai orang yang sejak 1973 hingga 1980 bekerja sebagai pegawai di Dinas Mu­seum dan Sejarah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Apalagi ketika pada 1976 ia menjadi tim pendiri Museum Bahari yang kini berdiri di Pasar Ikan, Jakarta, tempat ia mendapat kesempatan mempelajari museum dan sejarah di sejumlah negara Eropa, seperti Norwegia, Swedia, Den­mark, Belanda, Jerman, Inggris.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home