My Photo
Name:
Location: Jakarta, Jakarta Selatan, Indonesia

life is for joy and make friends

Thursday, June 01, 2006

Kompas, 24/12/75, hal. 13

Raksasa Bhairawa Peninggalan Kertanegara

Daerah Singosari yang berjarak + 12 Km dari kota Malang banyak mewariskan peninggalan purbakala, seperti candi Renggo, pemandian kuno yang disebut masyarakat setempat “Ken Dedes”, dan paling terkenal, lagi pula selalu dijadikan latar belakang potret memotret adalah dua patung raksasa yang benar-benar amat besar. Tinggi 5 meter, lebar 2 meter, posisi duduk dalam keadaan siaga. Yang berada di sebelah utara jalanan masih utuh semuanya di atas permukaan tanah, sedang satunya yang di selatan dua pertiga tubuhnya sudah ambles di dalam bumi. Diperkirakan beratnya lebih dari 20 (duapuluh) ton.

Dua patung raksana ini merupakan hasil seni pahat yang amat luar biasa, disamping menyeramkan. Matanya melotot seperti mau meloncat, rambutnya berkibar-kibar seperti ikut murka. Mahkota tengkorak. Kalungnya tengkorak. Demikian pula subangnya. Ular dipakai gelang tangan dan gelang lengan. Selempangnya ular. Ikat pinggangnya tengkorak. Dan dibawah telapak kakinya terinjak lagi tengkorak-tengkorak. Ciri-ciri begini tidak jauh dengan patung raja Adityawarman yang berada di Museum Pusat atau patung raksasa bertangan empat di Museum Leiden yang diangkut Belanda dari Singosari pada jaman penjajahan dulu. Inilah salah satu perwujudan dari aliran Budha Bhairawa yang pernah ada di Indonesia.

Mula-mula sekte Buddha Bhairawa timbul pada abad 6 di Bangladesh. Kemudian Mongolia, Tiongkok dan Jepang. Yang ke timur akhirnya memasuki Indonesia. Pada jam pemerintahan Kertanegara di Singosari (menurut J.L. Moens sejak 1254-1292) paham Bhairawa amat berkembang. Raja sendiri penganutnya utama. Raja percaya bahwa Janardhana atau Wisnu sebagai dewa adalah yang paling sempurna dan merupakan Buddha sendiri. Sebutan paling dikenal untuk Buddha yang Siwa ini adalah Kalabhairawa.

Penganut sekte Bhairawa suka berpestapora di kuburan. Mereka menari dan menyanyi, di atas tanah yang menyala-nyala. Minum-minum sampai mabuk hingga hilang kesadaran. Tetapi masih menari juga sambil berseru: “Puji-pujian untuk Kamu, O pemberi berkah! Dengan ini kami serahkan persembahan kepala-kepala manusia yang celaka untuk kamu, dihanyutkan oleh sungai darah. Kupuja diri Kamu demi hancurnya segala rintangan!”

***

DENGAN ditemukannya patung raja Adityawarman di Sumatra menunjukkan pengaruh kerajaan Singosari pada jaman Kertanegara, ditambah bukti ekspedisi “Pamalayu” pada tahun 1276. (Lihat Adityawarman, Pitono). Pada jaman Majapahit sekte Bhairawa makin lama makin berkurang, karena tidak disukai. Pada jaman Demak penganutnya makin kecil dan hanya ada di beberapa daerah saja. Pada abad ke-18 di daerah Surakarta dikenal satu tarian “Cantang Balung” yang dikeluarkan pada saat-saat ada pesta perkawinan. Penarinya lelaki dan perempuan, memakai kalung tulang dan menari-nari sambil memukul-mukulkan tulang. Maksudnya untuk mengusir setan, agar perkawinan tidak mengalami bencana. Dari cerita-cerita kemudian dibalik satu kelanjutan dari “bekas penganut Bhairawa ini, mungkin”. Bahwa penari-penari tersebut khusus di keraton-keraton. Mereka ini diberi wewenang menungut penghasilan dari para penari, peledek, sinden dan para penghibur masyarakat lainnya. Kabarnya pula bahwa Jl. Slamet Riyadi sekarang di Solo dulu dikenal dengan nama daerah “Cantang Balungan”.

***

KEMBALI kepada dua patung raksasa yang belum lama kami kunjungai tersebu diatas. Patung-patung ini perlu mendapat perhatian dari pejabat setempat. Menurut Drs. Uka dari LPPN, dulu pada jaman Bung Karno pernah akan diangkut ke Jakarta. Untuk maksud tersebut sudah diperintahkan agar di ukur terlebih dulu kemampuan jembatan-jembatan yang akan dilewati patung-patung Bhairawa dari Singosari itu. Entah mengapa akhirnya tidak jadi dilaksanakan? Sekarang menjelang tutup tahun 1976, salah patung tersebut sudah hampir 8 meter ambles. Kalau dibiarkan saja, seluruh tubuh akan menyelam di perut bumi. (RAHMAT ALI, MSJ)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home